Rizal Ramli: Perusahaan Asing Lebih Memilih Vietnam Terkait Relokasi Pabrik dari China
Ekonom senior, Rizal Ramli. (Foto: Instagram @rizalramliofficial)

Bagikan:

JAKARTA - Sejak hubungan Amerika Serikat dan China memanas, diperburuk dengan adanya COVID-19, beberapa negara pun berbondong-bondong berniat untuk memindahkan investasinya dari Negara Tirai Bambu. Namun, sayangnya Indonesia tak menjadi pilihan perusahaan asing untuk merelokasikan bisnisnya.

Ekonom senior Rizal Ramli menilai, tidak diliriknya Indonesia sebagai negara tujuan relokasi pabrik karena pemerintah belum memperbaiki beberapa kebijakan. Padahal, menurut dia, jika Indonesia menjadi pilihan para investor untuk relokasi, hal ini akan mendongkrak pertumbuhan industri di Tanah Air.

Lebih lanjut, Rizal mengatakan, idealnya industri harus tumbuh dua kali lipat dari pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian artinya industri bisa menciptakan lapangan kerja lebih yang banyak, menaikkan tingkat upah dan mendongkrak produktivitas.

"Kalau kita siap kita perbaiki kebijakannya. Nah kalau itu terjadi untuk mencapai pertumbuhan industri 15 persen bukan hal yang susah," tuturnya, dalam diskusi virtual, Kamis, 23 Juli.

Menurut Rizal, perusahaan-perusahaan asing yang memilih relokasi perusahaannya dari China, lebih memilih negara Vietnam, Meksiko dan India. Namun, sayangnya tak hanya Indonesia, Malaysia pun tak menjadi pilihan.

Tak hanya itu, Pemerintah Jepang bahkan berani membayar perusahaan asal negaranya untuk memindahkan pabrik mereka ke luar dari China ke dalam negeri atau ke negara-negara Asia Tenggara, seperti Vietnam, Myanmar dan Thailand.

"Bahkan Pemerintah Jepang kasih insentif kalau ada perusahaan Jepang mau keluar dari China, dikasih bonus," ucapnya.

Rizal menjelaskan, kebijakan itu dilakukan sebagai bagian dari program baru Negeri Sakura untuk mengurangi ketergantungan manufaktur pada China.

Sebelumnya, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengakui, Indonesia sulit bersaing dengan negara lain, terutama Vietnam dalam soal investasi, karena menyangkut mengenai aturan. Ia menilai, aturan yang ada di Indonesia terkesan dibuat memang agar Indonesia kalah kompetitif dibandingkan negara lain.

Lebih lanjut, Bahlil mengatakan, misalnya ketika calon investor mendapatkan Nomor Induk Berusaha (NIB) tidak otomatis langsung bisa melakukan kegiatan usahanya di dalam negeri.

Mendapatkan NIB memang mudah, cukup melalui sistem perizinan berusaha terintegrasi secara elektronik atau online single submission (OSS). Tapi masih ada izin lain yang harus diurus dan prosesnya memakan waktu.

"OSS katanya 3 jam mendaftar langsung mendapatkan NIB. Itu NIB itu nomor induk berusaha, itu tidak lantas kemudian bisa dipakai menjadi landasan untuk berusaha. Dia harus mengurus izin-izin baru lagi dan kemudian mendapatkan notifikasi dari kementerian/lembaga. Dan notifikasi itu kemudian tawaf, sampai 2 tahun, 3 tahun belum selesai," katanya, dalam acara Launching Buku Pandemi Corona: Virus Deglobalisasi, Masa Depan Perekonomian Global dan Nasional, Jakarta, Senin, 13 Juli.

Namun, Bahlil mengatakan, saat ini Indonesia sudah menjadi tujuan relokasi pabrik-pabrik perusahaan besar dari China. Bahlil menjelaskan, pada tahun 2018-2019 tidak ada perusahaan yang merelokasi dari China ke Indonesia, semuanya memilih. Namun, saat ini BKPM mencatat sudah mulai masuk. Bahkan sudah ada tujuh perusahaan.

"Sekarang sudah tujuh, kemarin sudah diresmikan dan nantinya ada 17 perusahaan yang sudah 70-80 persen potensinya akan masuk," ucapnya.

Terkait dengan aturan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2019 tentang Percepatan Kemudahan Berusaha. Melalui Inpres tersebut, BKPM mendapat mandat untuk menangani kewenangan perizinan berusaha dan pemberian fasilitas investasi.