Catat 9.671 Kematian, September Jadi Bulan Paling Mematikan Selama Pandemi COVID-19 di Malaysia
Ilustrasi COVID-19. (Wikimedia Commons/Mstyslav Chernov)

Bagikan:

JAKARTA - Malaysia mencatat 9.671 kematian akibat COVID-19 pada Bulan September, bulan paling mematikan sejak pandemi dimulai, data pemerintah menunjukkan pada Hari Jumat, meskipun pihak berwenang mengatakan peningkatan itu sebagian besar disebabkan oleh keterlambatan masuknya kematian dari bulan-bulan sebelumnya.

Lonjakan tersebut telah mendorong angka kematian Malaysia ke salah satu per kapita tertinggi di Asia, bahkan ketika infeksi baru telah melambat dalam beberapa pekan terakhir, di tengah program vaksinasi yang ditingkatkan.

Angka kematian di Bulan September menyumbang lebih dari sepertiga dari 26.335 total kematian COVID-19 yang dilaporkan di Malaysia, yang telah mencatat lebih dari 2,2 juta infeksi, jumlah tertinggi ketiga di Asia Tenggara.

Pejabat Kementerian Kesehatan mengatakan, banyaknya laporan kematian yang tertunda hingga beberapa bulan, dikarenakan meningkatnya kasus infeksi yang membuat rumah sakit dan laboratorium kewalahan, menyebabkan lonjakan angka laporan.

Kementerian pada Bulan September mulai merilis data harian sesuai dengan waktu kematian, serta tanggal pelaporan mereka, dalam upaya untuk meningkatkan transparansi dan menghapus backlog.

Meskipun Malaysia melaporkan rata-rata harian 322 kematian COVID-19 pada Bulan September, kematian harian aktual turun menjadi 89 pada Hari Kamis berdasarkan rata-rata bergulir tujuh hari, data menunjukkan.

Pihak berwenang telah berjanji untuk mengurangi keterlambatan, dengan memberlakukan batas waktu di rumah sakit untuk mengkonfirmasi penyebab kematian.

Kematian yang sebelumnya tidak dilaporkan memperlihatkan kesenjangan sistemik, meskipun Malaysia memiliki salah satu peluncuran vaksin tercepat di Asia Tenggara, kata pakar penyakit menular Universitas Malaya Adeeba Kamarulzaman kepada Reuters, dikutip 1 Oktober.

Ini termasuk tingkat vaksinasi yang tidak merata di berbagai negara bagian, pemantauan yang tidak memadai terhadap pasien COVID-19 di karantina rumah, serta akses terbatas ke perawatan kesehatan di antara para migran yang tidak berdokumen, katanya.

"Banyak di antara populasi migran yang kekurangan informasi tentang penyakit ini atau takut untuk datang ke rumah sakit, jika mereka ditangkap," jelas Adeeba.

Malaysia juga memiliki tingkat obesitas, diabetes, dan hipertensi yang tinggi, terutama di antara orang dewasa muda yang divaksinasi kemudian, yang meningkatkan risiko tertular infeksi COVID-19 yang parah, tambahnya.

Untuk diketahui, sekitar 62 persen dari 32 juta penduduk Malaysia telah menerima vaksin COVID-19 lengkap, termasuk 86 persen orang dewasa. Sementara, program vaksinasi untuk remaja usia 12-17 tahun telah dimulai bulan lalu.