JAKARTA - Sebuah penelitian menyatakan bahwa air laut di Teluk Jakarta mengandung parasetamol. Studi pencemaran air di pesisir Ibu Kota ini dimuat dalam sebuah jurnal bertajuk Science Direct pada Agustus 2021.
Menanggapi hal ini, Humas Dinas Lingkungan Hidup DKI Yogi Ikhwan menyebut, pihaknya belum mengetahui bahwa air laut Jakarta mengandung zat parasetamol. Selama ini, kandungan air hanya diperiksa secara umum.
"Kita enggak meneliti parameter itu sih. Kita mah memantau kualitas air laut dengan kandungan yang umum-umum aja, misalnya kadar BOD (biological oxygen demand), terus kadar logam beratnya. Kalau parameter khusus parasetamol, kita enggak khusus ke situ," kata Yogi saat dikonfirmasi, Jumat, 1 Oktober.
Yogi mengapresiasi upaya penelitian kandungan parasetamol yang dilakukan peneliti. Untuk menindaklanjutinya, Yogi mengaku Dinas LH akan menelusuri kandungan tersebut untuk mencari tahu sumber pencemaran.
"Memang si perisetnya meneliti yang lebih spesifik. Mungkin karena punya pengalaman tertentu, makanya kepikiran ke arah sana. Nanti kita cek juga sih, nanti bisa jadi parameter yang kita ukur juga," ucap Yogi.
Setelah mendapatkan data terkait kandungan parasetamol itu, Yogi mengungkapkan pihaknya akan membuat kebijakan untuk mengendalikan pencemaran air laut tersebut.
"Itu pencemaran karena bukan pada tempatnya. Parasetamol kok ada di laut, apapun yang tidak pada tempatnya, apapun yang melebihi kadarnya di suatu tempat tergolong pencemaran," jelas dia.
BACA JUGA:
Diketahui, hasil penelitian mengenai kandungan paraswtamol yang dilakukan tersebut diungkapkan jika di Angke memiliki konsentrasi tinggi akan kandungan Paracetamol, yakni 610 ng/L, dan Ancol sebesar 420 ng/L.
Dalam studi tesebut, hal ini adalah penelitian pertama yang menganalisis gambaran kualitas air laut berkaitan dengan kontaminasi parasetamol di perairan pesisir sekitar Indonesia. Namun, para ilmuwan menyebut studi gambaran awal ini masih membutuhkan analisis lebih lanjut.
"Mengingat pertimbangan obat-obatan sebagai kontaminan yang muncul, data ini menunjukkan penyelidikan lebih lanjut diperlukan," ungkap peneliti yang terdiri dari Wulan Koagouw, Zainal Arifin, George WJ Olivier, dan Corina Ciocan.