Bagikan:

JAKARTA - Buronan kelas kakap 11 tahun, Djoko Tjandra yang masuk ke Indonesia tanpa terdeteksi membuktikan lemahnya sistem keimigrasian. Bahkan, Djoko bisa sampai datang ke kantor kelurahan untuk membuat KTP elektronik (e-KTP).

Pengamat hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar memandang lemahnya sistem pengawasan di Dirjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM membuat buronan tersebut bisa bergerak bebas hingga tak ketahuan aparat.

"Bagaimana bisa pihak imigrasi menerbitkan paspor dengan mudah. Ironisnya, aparat pemerintah dan penegak hukum telah dipermainkan oleh terdakwa Djoko Tjandra" kata Fickar kepada VOI, Sabtu, 11 Juli. 

Perlu diingat, kecolongan buronan tak hanya terjadi pada kasus Djoko Tjandra. Eddy Tansil, koruptor kasus kredit macet Bank Pembangunan Indonesia berhasil kabur dari penjara pada 24 tahun lalu dan dikabarkan mengumpat di China dan Singapura. Eddy Tansil jadi buronan Interpol selama puluhan tahun. 

Kasus lainnya, yakni tersangka suap kasus dugaan korupsi penetapan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR 2019-2024, Harun Masiku. Jelang penetapannya sebagai tersangka, Harun lolos dari upaya operasi tangkap tangan (OTT). 

Ditjen Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM bilang Harun berada di Singapura pada 6 Januari lalu. Namun, ternyata Harun terekam di CCTV Bandara Soekarno Hatta sehari setelahnya tanpa ketahuan.

"Ini membuktikan kekurangan lembaga imigrasi karena sering kebobolan oleh buronan yang kini belum juga tertangkap," kata Fickar.

Menambahkan, Direktur Eksekutif Institite for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menyebut perlu adanya pembenahan sistem keimigrasian yang terintegrasi.

Menurut Khairul, penyebab buronan Djoko Tjandra bisa bergerak bebas hingga membuat e-KTP karena minimnya koordinasi pengawasan pelaku kejahatan dan pencatatan data kependudukan antara Kemenkumham pada Ditjen Imigrasi, Kementerian Dalam Negeri pada Ditjen Dukcapil, dan Kejaksaan Agung yang menangani kasusnya.

"Lemahnya data informasi pendukung dalam data dukcapil data kependudukan lemah seperti ini jadi catatan pentingnya data yang terintegrasi antara data kependudukan dan masalah hukum," kata Khairul.

"Oleh karena itu, mesti ada pembenahan sistem. Sistem dibenahi, setidaknya oleh tiga kementerian dan lembaga tersebut," ungkapnya.