Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Plt Kadis PU yang juga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan KPA pada Dinas PUPRT Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalsel, Maliki sebagai tersangka. Penetapan dilakukan setelah dia terjaring operasi tangkap tangan (OTT).

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan operasi senyap itu berawal sejak Rabu, 15 September. Saat itu pihaknya mendapat informasi dari masyarakat terkait adanya dugaan penerimaan uang yang sudah disiapkan oleh dua pihak swasta yaitu Marhaini dan Fachriadi yang kini juga ditetapkan sebagai tersangka.

Selanjutnya, tim yang mendatangi wilayah Hulu Sungai Utara mengikuti Mujib, orang kepercayaan dua pihak swasta tersebut yang tengah mengambil uang sebesar Rp170 juta di sebuah bank dan akan mengantarnya ke rumah Maliki.

Setelah uang diterima Maliki, KPK kemudian membawanya dan kemudian ditemukan lagi uang sebesar Rp175 juta dari pihak lain dan dokumen proyek. Sehingga total uang yang ditemukan KPK dalam operasi senyap ini mencapai Rp345 juta.

Alex kemudian memaparkan pemberian uang ini diawali dengan rencana Dinas PUPRT Kabupaten Hulu Sungai Utara untuk melakukan lelang dua proyek irigasi.

Proyek pertama adalah Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Kayakah, Desa Kayakah dengan harga perkiraan sendiri mencapai Rp1,9 miliar. Sementara proyek kedua adalah Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Banjang, Desa Karias Dalam.

Hanya saja, sebelum lelang dilakukan, Maliki diduga lebih dulu menginformasikan syarat lelang pada dua pihak swasta yaitu Marhaini dan Fachriadi lalu sebagai gantinya mereka memberikan komitmen fee sebesar 15 persen.

"Saat awal dimulainya proses lelang untuk proyek Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Kayakah, Desa Kayakah, Kecamatan Amuntai Selatan dimulai ada 8 perusahaan yang mendaftar. Namun hanya ada 1 yang mengajukan penawaran yaitu CV Hanamas milik Marhaini," ujar Alex.

Sementara terkait proyek Rehabilitasi Jaringan Irigasi DIR Banjang, hanya dua yang mengajukan penawaran yaitu CV Kalpataru milik Fachriadi dan CV Gemilang Rizki. Padahal, dalam proses lelang itu ada 12 perusahaan yang mendaftar.

Usai proses lelang berjalan perusahaan milik Marhaini dan Fachriadi masing-masing memenangkan dua proyek tersebut dengan nilai anggaran Rp1,9 miliar untuk tiap proyek.

Berikutnya, setelah semua administrasi kontrak pekerjaan selesai diterbitkan surat perintah membayar pencairan uang muka yang ditindaklanjuti oleh BPKAD dengan menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana/SP2D untuk dua perusahaan tersebut.

Dari hasil pencairan ini, keduanya menyerahkan uang sebesar Rp170 juta dan Rp175 juta dalam bentuk tunai.

Atas perbuatan keduanya sebagai pemberi uang Marhaini dan Fachriadi disangka melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 65 KUHP.

Sementara Maliki sebagai penerima disangka melanggar Pasal 12 huruf (a) atau Pasal 12 huruf (b) atau Pasal 11 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 199 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal Pasal 64 KUHP Jo Pasal 65 KUHP.