Kenormalan Baru Dianggap Biang Keladi Kasus COVID-19 Meningkat
Ilustrasi (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Penyebaran COVID-19 di Indonesia semakin mengkhawatirkan. Berdasarkan data gugus tugas pada 9 Juli, ditemukan kasus positif sebanyak 2.600 orang. Sehingga, total kasus positif menjadi 70.736 orang.

Besarnya penambahan jumlah kasus positif pada beberapa hari terakhir, diduga berkaitan dengan kebijakan kenormalan baru yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah. Namun tidak diimbangi dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat oleh masyarakat.

Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat, Dr Hermawan Saputra mengatakan, peningkatan jumlah penambahan kasus positif memang merupakan konsekuensi dari penerapan kenormalan baru. Sebab, dengan kebijakan tersebut, kerumunan yang berpotensi terjadinya penularan tidak akan bisa dihindari.

"Di satu sisi juga berkaitan dengan konsekuensi keramaian di jalanan, di pasar, di kantor, pemukiman yang memamg aktivitas ini dibuka semua oleh pemerintah," kata Hermawan kepada VOI, Jumat, 10 Juli.

Seharusnya, jika ingin meningkatkan sektor ekonomi dalam masa pendemi COVID-19, pemerintah hanya membuka beberapa bidang pekerjaan yang berkaitan langsung dengan kebutuhan dasar.

Dengan begitu, masyarakat yang beraktivitas di luar ruangan akan lebih termonitor. Setidaknya, penyebaran COVID-19 akan bisa diminimalisir. Selain itu, seharunya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) tetap diterapkan di seluruh daerah. Sebab, PSBB saat ini masih menjadi pedoman dalam mengurangi penularan COVID-19.

"Harusnya dibuat prioritas terutama yang berkebutuhan dasar ekonomi. PSBB masih menajdi acuan kita dalam menangani dan mengendalikan COVID-19," tegas Hermawan.

Selain itu, berdasarkan prediksi para praktisi kesehatan, Indonesia sedang mengalami masa puncak penyebaran COVID-19. Sehingga, bukan hal yang mengagetkan jika setiap harinya jumlah kasus positif akan melebih dari angka sebelumnya.

Selain itu, jumlah penambahan kasus positif yang besar juga dipengaruhi oleh semakin besar kapasitas pemeriksaan. Artinya, spesimen atau kasus positif yang sebelumnya tak terdeteksi kini mulai terjaring.

"Indonesia itu menghadapi lembah yang sedang menanjak. Jadi kasusnya akan terus pecahkan rekor dari hari ke hari seiring dengan deteksi rate atau kapasitas pemeriksaan," ungkap Hermawan.

Menambahkan, Pakar Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Pandu Riono menyebut, dengan penambahan jumlah kasus positif semakin banyak, maka, surveillance yang masif harus tetap dilakukan.

Hal ini betujuan untuk menjaring sebanyak mungkin orang-orang yang tak sadar jika telah terjangkit. Dengan cara itu, mata rantai penyebaran COVID-19 bisa diputus.

"Harus memperkuat surveilans aktif tes lacak, isolasi, dan komunikasi publik yang masif untuk 3M (masker, mencuci tangan, menjaga jarak)," ucap Pandu.

Kemudian, pemerintah pusat atau daerah pun bisa mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan penggunaan alat pelindung diri. Sebab, tak dipungkiri kesadaran masyarakat masih rendah terkait hal tersebut.

"Kebijakan mengajak masyarakat untuk mengubah perilaku yang mengurangi risiko terkena COVID-19," singkat Pandu.