Bagikan:

JAKARTA - Virus SARS-CoV-2 sebagai biang keladi dari COVID-19 tak pernah berhenti bermutasi. Setelah B117 asal Inggris, B1351 dari Afrika Selatan, dan P1 asal Brasil, kini kita kembali dihadapkan dengan N439K.

Sebagai informasi, mutasi N439K bukanlah hal baru. N439K pertama kali dilaporkan muncul di Skotlandia pada medio Maret 2020. N439K sudah terdeteksi masuk Indonesia pada November 2020. Dan hingga kini, sudah tersebar di lebih dari 35 negara.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sudah melakukan analisa terhadap N439K ini. Kata Kepala Laboratorium Rekayasa Genetika Terapan dan Protein Desain LIPI, Dr.rer.nat. Wien Kusharyoto, mutasi N439K dapat menghindari antibodi.

"Mutasi N439K dapat pula berakibat virus dapat menghindar dari beberapa antibodi penetralisir virus yang terbentuk berdasarkan varian Wuhan," kata Wien seperti dilansir dari Antara, Jumat, 26 Maret.

Mutasi N439K terletak di dalam Receptor Binding Motifs (RBM). RBM adalah bagian dari Receptor Binding Domain (RBD) dari protein spike virus SARS-CoV-2 yang immunodominan dan merupakan target utama dari antibodi penetralisir virus yang terbentuk baik karena infeksi virus maupun karena penyuntikan dengan vaksin.

Menurut dia terdapat indikasi bahwa mutasi tersebut meningkatkan affinitas atau kemampuan berikatan virus dengan reseptor ACE-2 pada manusia, dan terdapat peningkatan ringan kandungan virus apabila terinfeksi oleh varian dengan mutasi tersebut, namun tidak menyebabkan tingkat keparahan penyakitnya.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan salah satu karakteristik yang dimiliki oleh varian baru virus penyebab COVID-19, N439K, adalah lebih cepat menghilang. Satuan Tugas Ikatan Dokter Indonesia (Satgas IDI) mengatakan sudah ada kemunculan 48 kasus N439K di Indonesia.