Komisaris BUMN yang Rangkap Jabatan Banyak Diadukan Kinerjanya ke Ombudsman RI
Gedung Kementerian BUMN. (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Ombudsman RI mengaku mendapat pengaduan terkait komisaris BUMN yang merangkap jabatan di tempat lain. Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih mengatakan dari aduan yang masuk, komisaris yang rangkap jabatan kerap tak hadir dalam rapat atau pertemuan yang membahas masalah perusahaan.

"Saya juga banyak menerima keluhan dari beberapa komisaris yang bekerja sangat serius dan merasa banyak komisaris rangkap jabatan sudah kehadirannya susah, diminta pendapat juga tidak ada tapi kan tidak mungkin kita setop honorarium dan tantiemnya," kata Alamsyah dalam diskusi bertajuk Menyoal Rangkap Jabatan dan Benang Kusut Pengelolaan BUMN yang ditayangkan di Facebook, Kamis, 2 Juli.

Meski tak menyampaikan pengadunya tapi Alamsyah memastikan pengaduan tersebut benar adanya, merata, dan kerap terjadi.

Komisaris BUMN yang serius bekerja, kata dia, kerap merasa diperlakukan tidak adil dengan komisaris yang merangkap jabatan di tempat lain. Dirinya juga meminta Kementerian BUMN tidak mengelak soal ini sebab Ombudsman RI memiliki bukti kuat terkait aduan tersebut.

"Jangan mengelak soal itu, jangan sampai dokumen bertebaran. Kita mau baik-baik. Ini bukan kampanye lagi, tolong jangan menyangkal Ombudsman kalau tidak mempunyai argumen yang baik," tegasnya.

Diketahui, Ombudsman RI mencatat ada 397 komisaris di BUMN pada tahun 2019 yang terindikasi merangkap jabatan di tempat lain. Selain itu, sebanyak 167 komisaris di anak perusahaan BUMN juga terindikasi memiliki masalah yang sama.

Dari angka tersebut, 254 berasal dari kementerian, 112 orang berasal dari lembaga non-kementerian, dan 31 orang berasal dari kalangan akademisi.

Adapun lima kementerian yang karyawannya banyak menjabat sebagai komisaris adalah Kementerian BUMN dengan 55 orang, Kementerian Keuangan 42 orang, Kementerian PUPR 17 orang, Kementerian Perhubungan 17 orang, Kemensetneg 16 orang, dan Kementerian Koordinator 13 orang.

Sementara untuk lembaga non-kementerian, terdapat 27 orang dari TNI, 13 orang Polri, 12 orang dari Kejaksaan Agung, 11 orang dari Pemda, 11 orang dari Badan Intelejen Negara (BIN), 6 orang dari kantor presiden, 4 orang dari BPK, dan lain-lain sebanyak 19 orang.

Kembali ke penjelasan Alamsyah, selain masalah kinerja, ada sejumlah aduan yang masuk ke Ombudsman. Termasuk mengenai komisaris BUMN berasal dari relawan politik dan penempatan anggota TNI/Polri aktif.

Kata dia, hal ini sebenarnya bisa dibereskan dengan perbaikan sistem rekrutmen. Selain perbaikan sistem rekrutmen, kinerja para komisaris harus diumumkan ke publik. 

Bahkan, Ombudsman berharap BPK RI bisa turun tangan melakukan audit terhadap kinerja komisaris tersebut. "Apa yang mereka lakukan, masalah kehadiran, usulan, dan hasilnya," tegasnya.

"Kita akan sampaikan saran tertulis. Kedua kita akan dorong proses perbaikan sistem rekrutmen komisaris yang berjalan," imbuhnya.

Susunan komisaris dan dewan direksi yang dianggap tak proporsional

Jika Ombudsman RI menyoroti masalah rangkap jabatan komisioner BUMN, Indonesia Corruption Watch (ICW) justru melihat adanya permasalahan lain yaitu gemuknya struktur direksi dan komisaris di perusahaan plat merah.

Koordinator ICW Donal Fariz menilai susunan direksi dan komisaris di sejumlah perusahaan BUMN maupun anak perusahaannya tidak proporsional. Dia mencontohkan, ada sebuah perusahaan BUMN yang ternyata memiliki enam hingga sembilan orang komisaris. 

"Apakah benar sebuah BUMN butuh komisaris sebanyak itu, apalagi di anak BUMN," tanyanya.

Dia mengatakan, selama ini jumlah komisaris maupun direksi memang tak diatur dalam perundand-undangan. Hal inilah yang kata dia bisa menimbulkan masalah lain selain masalah rangkap jabatan. "Apakah jumlah komisaris harus sama dengan jumlah direksi di BUMN? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang memang kalau kita baca di Undang-Undang tidak pernah mengikat," kata Donal.

Apalagi komisaris hanya bertugas untuk melakukan pengawasan dan memberikan nasihat kepada direksi. Sehingga dia menilai, jumlah komisaris tak perlu disamakan dengan jumlah direksi namun jika dibutuhkan tetap boleh ditambahkan.

"Menurut saya, semestinya jabatan komisaris apalagi di BUMN, apalagi di anak-anak perusahaan BUMN, cukup dua atau tiga orang saja," pungkasnya.