Bagikan:

JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, korupsi yang terjadi di Badan Usaha Milik Negara (BUMN) salah satunya didorong oleh faktor rangkap jabatan yang ada di perusahaan pelat merah tersebut.

Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad mengatakan, ruang gerak BUMN dalam mengambil keputusan menjadi terbatas. Sebab, konsentrasi di direksi maupun komisaris terpecah. Hal ini yang membuka peluang terjadinya korupsi.

Menurut Tauhid, pengambilan keputusan yang bersifat strategis pun bisa terganggu bahkan sampai tertunda karena adanya rangkap jabatan. Hasil keputusan pun dapat dipengaruhi juga oleh konflik kepentingan para petinggi perusahaan pelat merah ini.

"Menurut saya betul. Pertama rangkap jabatan, kedua model mekanisme pengadaan barang dan jasa yang mekanisme pengawasannya kurang kuat," katanya, saat dihubungi VOI, Jumat, 3 Juli.

Tauhid mengatakan, korupsi juga bisa terjadi karena kelonggaran regulasi. Menurut dia, regulasi di BUMN memang harus tegas. Sebab, jika tidak, akan sulit untuk rangkap jabatan.

"Harusnya memang tidak boleh ada rangkap jabatan untuk lembaga instansi pemerintah," jelasnya.

Menurut Tauhid, pengambilan keputusan untuk pengadaan barang dan jasa di BUMN berbada dengan di internal pemerintah. Hal ini yang membuat proses pengawasan internal dan sistemnya agak berbeda dengan pemerintah.

"Sistem di pemerintah misalnya dari mulai internal memang sudah ada Dirjen, DKPP, BPK dan sebagainya. Sementara BUMN modal pengadaan barang dan jasanya terpisah. Sehingga ada ruang-ruang korupsi dari sisi regulasi kita yang terjadi," tuturnya.

Erick Thohir Temukan 53 Kasus Korupsi di BUMN

Maraknya koruspi yang terjadi di perusahaan pelat merah, pertama kali diungkap oleh Menteri BUMN Erick Thohir. Menurut dia, sudah ada 53 kasus korupsi yang ditemukan. Hal ini terjadi karena direksi melakukan peran ganda.

Bahkan, menurut Erick, para direksi BUMN kerap mencampurkan kepentingan antara ekonomi dan pelayanan publik. Ia menjelaskan, hal tersebut bisa terjadi karena garis merah antara mementingkan pelayanan publik atau ekonomi tidak jelas.

Pada akhirnya, kata Erick, para direksi lah yang menentukan sendiri mencampuradukkan antara penugasan dan bisnis yang benar. 

"Terjadi banyak sekali kasus korupsi, beberapa tahun ini saja sudah terjadi 53 kasus korupsi di BUMN," tutur Erick.

Aduan ke Ombudsman

Sementara itu, Ombudsman RI mengaku mendapat pengaduan terkait komisaris BUMN yang merangkap jabatan di tempat lain. Anggota Ombudsman RI Alamsyah Saragih mengatakan dari aduan yang masuk, komisaris yang rangkap jabatan kerap tak hadir dalam rapat atau pertemuan yang membahas masalah perusahaan.

"Saya juga banyak menerima keluhan dari beberapa komisaris yang bekerja sangat serius dan merasa banyak komisaris rangkap jabatan sudah kehadirannya susah, diminta pendapat juga tidak ada tapi kan tidak mungkin kita setop honorarium dan tantiemnya," tutur Alamsyah.

Komisaris BUMN yang serius bekerja, kata dia, kerap merasa diperlakukan tidak adil dengan komisaris yang merangkap jabatan di tempat lain. Dirinya juga meminta Kementerian BUMN tidak mengelak soal ini sebab Ombudsman RI memiliki bukti kuat terkait aduan tersebut.

"Jangan mengelak soal itu, jangan sampai dokumen bertebaran. Kita mau baik-baik. Ini bukan kampanye lagi, tolong jangan menyangkal Ombudsman kalau tidak mempunyai argumen yang baik," tegasnya.

Diketahui, Ombudsman RI mencatat ada 397 komisaris di BUMN pada tahun 2019 yang terindikasi merangkap jabatan di tempat lain. Selain itu, sebanyak 167 komisaris di anak perusahaan BUMN juga terindikasi memiliki masalah yang sama.

Dari angka tersebut, 254 berasal dari kementerian, 112 orang berasal dari lembaga non-kementerian, dan 31 orang berasal dari kalangan akademisi.

Adapun lima kementerian yang karyawannya banyak menjabat sebagai komisaris adalah Kementerian BUMN dengan 55 orang, Kementerian Keuangan 42 orang, Kementerian PUPR 17 orang, Kementerian Perhubungan 17 orang, Kemensetneg 16 orang, dan Kementerian Koordinator 13 orang.

Sementara untuk lembaga non-kementerian, terdapat 27 orang dari TNI, 13 orang Polri, 12 orang dari Kejaksaan Agung, 11 orang dari Pemda, 11 orang dari Badan Intelejen Negara (BIN), 6 orang dari kantor presiden, 4 orang dari BPK, dan lain-lain sebanyak 19 orang.