Kursi Panas Penempatan Pejabat Pemerintah di BUMN
Logo baru BUMN (dok. Humas BUMN)

Bagikan:

JAKARTA - Belakangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali jadi sorotan publik, mulai dari kinerja karyawan hingga rangkap jabatan di perusahaan-perusahaan milik pemerintah. Beberapa kalangan mengkhawatirkan penempatan pejabat pemerintah justru akan melemahkan pengawasan atas perusahaan pelat merah dan mendorong liberalisasi BUMN.

Ketua Umum Masyarakat Pemerhati Pangan (Mappan) Indonesia, Wignyo Prasetyo misalnya mengatakan, kehadiran pejabat pemerintah sebagai komisaris BUMN harusnya disikapi positif. Hal ini tak lain untuk memaksimalkan pengawasan kepentingan negara dan juga rakyat. 

"Penunjukkan komisaris dari pejabat pemerintah di BUMN adalah untuk memastikan kepentingan pemegang saham yakni pemerintah. Maka kewenangannya didelegasikan kepada pejabat pemerintah yang ditugaskan untuk menempati posisi komisaris," papar Wignyo dalam keterangan tertulisnya, Senin, 13 Juli.

Menurutnya, penempatan pejabat pemerintah sebagai komisaris di sejumlah BUMN tidak menyalahi aturan selama mereka memiliki kompetensi. Selain itu, pejabat pemerintah juga mempunyai sistem kerja komando yang patuh dan loyal terhadap atas, dan negara.

Sebaliknya, kritikan terhadap penempatan pejabat pemerintah di Komisaris BUMN justru disinyalir merupakan usaha terstruktur melepaskan pengawasan pemerintah terhadap BUMN. Di mana polemik ini awalnya dilontarkan pejabat Ombudsman beberapa waktu lalu.

"Saya rasa dibalik polemik ini ada yang ingin mencoba-coba menggulirkan wacana liberalisasi BUMN dengan cara menempatkan semua komisaris BUMN dari unsur swasta. Ya kita lihat saja arahnya akan kemana," ungkapnya. 

Sementara itu pengamat kebijakan publik Yasef Firmansyah menilai penempatan wakil pemerintah dalam posisi komisaris untuk menjamin keberpihakan BUMN pada kepentingan pemenuhan barang publik yang tepat, tersedia dan terjangkau. 

Namun ditegaskannya, wakil pemerintah yang ditempatkan di BUMN juga harus sesuai dengan tugasnya di instansi pemerintah, baik terkait aspek keuangan maupun aspek teknis. Sehingga pemerintah sebagai pemegang saham di BUMN dapat terawasi kepentingannya dengan baik dan benar melalui wakilnya yang ditempatkan sebagai komisaris. 

"Kekhawatiran Ombudsman wakil pemerintah yang menjabat sebagai komisaris bakal mengganggu fungsi ASN di birokrasi negara tak beralasan. Sepertinya dia lupa bahwa tugas pokok pemerintah adalah menjamin pelayanan publik itu diterima di masyarakat. Salah satunya mengawal instrumen negara termasuk BUMN untuk menyediakan barang publik," tuturnya.

Sorotan Ombudsman

Sebelumnya, isu rangkap jabatan di BUMN kembali mengemuka setelah lembaga pengawas pelayanan publik Ombudsman menyoroti beberapa perkembangan terakhir mengenai komisaris yang berasal dari partai politik, anggota TNI/Polri aktif hingga Aparatur Sipil Negara (ASN/PNS).

Anggota Ombudsman Alamsyah Saragih mengatakan beberapa isu yang dominan adalah kompetensi komisaris yang berasal dari relawan politik. "Bagaimana relawan politik bisa menduduki satu jabatan komisaris tertentu, apakah kompetensinya sesuai. Ini juga menjadi bagian yang kita lihat."

Hal yang sama juga menjadi kekhawatiran Ombudsman terkait penempatan jabatan komisaris di BUMN oleh anggota TNI/Polri aktif. Hal ini jelas-jelas berseberangan dengan aturan yang disampaikan secara eksplisit.

"Mungkin kami juga paham beberapa BUMN ada kompetensi dari TNI, mungkin di Pelindo, pelabuhan udara dan sebagainya. Tapi kan tentunya harus dibikin lebih clear BUMN mana yang diperbolehkan dan apa konsekuensi pada TNI dan Polri yang ditempatkan di situ. Tampaknya harus diatur lebih ketat, perlu aturan presiden," jelas dia.