Jokowi Minta Kepala Daerah Tak Paksakan Kenormalan Baru
Presiden Joko Widodo (Foto: Twitter @jokowi)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo meminta kepala daerah untuk tidak terburu-buru dalam menerapkan fase kenormalan di wilayah mereka saat pandemi COVID-19. Sebab, fase tersebut harus diterapkan seiring dengan data saintifik yang mendukung.

Hal tersebut disampaikan oleh Presiden Jokowi saat memberikan pengarahan untuk penanganan COVID-19 terintegrasi di Provinsi Jawa Tengah, Semarang, yang disiarkan melalui Youtube Sekretariat Presiden.

"Jangan sampai kita berani membuka, masuk ke new normal tetapi keadaan datanya masih belum memungkinkan, jangan dipaksa sehingga tahapan-tahapan harus betul-betul disiapkan," kata Jokowi dalam arahan itu, Selasa, 30 Juni.

Dia mengingatkan, ada beberapa tahapan yang harus dilalui sebelum suatu wilayah untuk masuk fase kenormalan baru. Pertama adalah tahapan prakondisi. Selanjutnya adalah menentukan waktu yang tepat dalam memberlakukan tahapan tersebut di masyarakat.

"Timing-nya, kapan kita buka. Timing-nya harus tepat. Jangan sampai Rt-nya masih tinggi di atas 1,0, R0-nya masih tinggi kita sudah berani buka. Hati-hati. Jangan membuat kebijakan tanpa sebuah data sains yang jelas," tegasnya.

Setelah menentukan waktu yang tepat berdasarkan data saintifik, langkah selanjutnya, kepala daerah harus menentukan prioritas sektor yang akan dibuka. 

Dia mengingatkan, kepala daerah tak boleh langsung membuka seluruh sektor kehidupan di tengah masyarakat. Sedangkan bagi sektor yang sudah dibuka, sambung Jokowi, kapasitasnya harus dibatasi. 

"Tidak usah tergesa-gesa karena yang kita hadapi ini dua. Kesehatan dan ekonomi yang semuanya harus berjalan dengan baik," ungkap dia.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengatakan, kepala daerah juga harus terus melaksanakan evaluasi dan monitoring setiap dua minggu sekali. "Kalau memang keadaannya (penyebaran virus COVID-19) naik ya tutup lagi. Harus berani seperti itu," ujarnya.

"Harus berani memutuskan seperti itu. Tidak bisa lagi kita, sekali lagi, memutuskan sebuah kebijakan tanpa dilihat yang namanya data sains dan masukan para pakar," pungkasnya.