Jokowi Minta Tokoh Masyarakat Beri Edukasi Terkait Pandemi COVID-19
Presiden RI Joko Widodo (Foto: Setkab)

Bagikan:

JAKARTA - Presiden Joko Widodo meminta tokoh agama, tokoh masyarakat, budayawan, sosiolog, hingga antropolog dilibatkan untuk mengedukasi masyarakat terkait penanganan COVID-19. Sebab, dia tak ingin ada lagi insiden pengambilan paksa jenazah pasien yang terjangkit COVID-19 oleh keluarga.

"Tokoh-tokoh agama, tokoh masyarakat, budayawan, sosiolog dan antropolog dalam komunikasi publik harus besar-besaran kita libatkan. Sehingga jangan sampai terjadi lagi merebut jenazah yang jelas-jelas COVID oleh keluarga. Itu saya kira sebuah hal yang harus kita jaga agar tidak lagi terjadi setelah ini," kata Jokowi dalam rapat terbatas percepatan penanganan dampak COVID-19 di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 29 Juni.

Mantan Gubernur DKI Jakarta ini juga mengingatkan pentingnya edukasi kepada masyarakat mengenai pengujian COVID-19 yang dilakukan dengan rapid test dan swab test. Sebab, dia mengetahui di beberapa daerah ada masyarakat yang menolak swab test maupun rapid test.

Dia menilai, penolakan tersebut sebenarnya terjadi karena tak ada sosialisasi terhadap masyarakat. Sehingga ketika petugas datang untuk melakukan pengujian, masyarakat yang tak paham alasannya akan melakukan penolakan.

"Mungkin (petugas) datang-datang pakai PCR (polymerase chain reaction), datang-datang rapid test dan belum ada penjelasan terlebih dahulu, sosialisasi dulu ke masyarakat yang akan didatangi. Sehingga, yang terjadi adalah penolakan," tegasnya.

Menanggapi hal tersebut Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Doni Monardo mengatakan, selama ini pendekatan kearifan lokal selalu dilakukan kepada masyarakat dan menjadi ujung tombak. 

Sehingga, para pimpinan di daerah dari mulai yang tertinggi hingga kepala desa selalu menggunakan bahasa yang mudah dipahami.

"Istilah asing harus bisa diterjemahkan menjadi bahasa yang mudah dipahami, termasuk penggunaan bahasa daerah. Seperti misalnya droplets, kemudian social distacing, physical distancing, new normal. Ini diharapkan bisa diterjemahkan oleh seluruh pimpinan di daerah agar yang penting masyarakat bisa paham," kata Doni usai rapat tersebut.

Sementara terkait penolakan pengetesan COVID-19 di beberapa wilayah, Doni mengatakan sosialisasi memang perlu dilakukan. "Tidak boleh sekonyong-konyong dilakukan rapid test di pasar atau di pemukiman tertentu," tegasnya.

"Perlu ada prakondisi, perlu ada sosialisasi sehingga tujuan rapid test bisa dipahami masyarakat," imbuh Kepala Badan Nasional Penanganan Bencana (BNPB) ini.

Dia mengatakan, upaya rapid test tersebut memang perlu dilaksanakan. Sebab, pengujian ini berguna untuk mengetahui kondisi masyarakat. Selain itu, rapid test ini bisa menjaring masyarakat yang ternyata reaktif untuk kemudian dilanjutkan dengan pengujian dengan metode (PCR).

"Apabila positif COVID perlu dilakukan isolasi mandiri kalau memungkinkan atau bisa disiapkan pemerintah daerah. Sudah banyak pemerintah kabupaten/kota yang menyiapkan isolasi madiri," pungkasnya.