JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan akan terus mengusut kasus suap ekspor benur atau benih lobster.
Hanya saja, pihaknya masih menunggu putusan banding dari Pengadilan Tinggi DKI Jakarta yang diajukan oleh mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Plt Juru Bicara KPK Bidang Penindakan Ali Fikri beralasan hal ini dilakukan agar tak ada fakta hukum yang berubah ketika pengusutan lebih lanjut dilakukan.
"Perkara (benur, red) masih bergulir di Pengadilan Tinggi. Jadi untuk menentukan perkara itu sudah selesai sampai kemudian fakta hukum itu selesai, ada ketika inkracht. Kalau ketika kemudian nanti berubah di Pengadilan Negeri, di PT berubah fakta hukumnya nanti kita keliru juga penyidikan kasusnya," kata Ali kepada wartawan di gedung Merah Putih KPK, Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Selasa, 24 Agustus.
Dia memastikan pengusutan ini memang tak tergantung pada hasil putusan tapi fakta hukum dari hasil persidangan biasanya lebih kuat untuk menunjang proses penyidikan. Apalagi, fakta persidangan biasanya telah memperoleh kekuatan huukm.
"Maka kan enak kita tindaklanjuti. Makanya saya katakan kita akan pelajari dulu sampai dengan perkara berkekuatan hukum tetap di mana itulah yang menjadi fakta hukum kalau memang benar ada bukti yang cukup," tegas Ali.
"Jadi tunggu dulu fakta persidangan apakah bisa menjadi fakta hukum atau tidak. Karena fakta sidang belum tentu jadi fakta hukum. Maksudnya apa? Satu keterangan saksi atau bahkan 10 keterangan saksi tapi tidak terkait dengan alat bukti lain bahkan keterangan terdakwa tidak menjadi fakta hukum," imbuhnya.
BACA JUGA:
Diberitakan sebelumnya, Edhy Prabowo mengajukan banding terhadap putusan 5 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Pengajuan ini dilakukan karena pihak kuasa hukum, Soesilo Ariwibowo keberatan dengan putusan hakim yang menilai Edhy telah melanggar Pasal 12 huruf a UU Tipikor. Menurutnya, eks politikus Partai Gerindra itu lebih cocok dinyatakan bersalah dengan Pasal 11 UU Tipikor.
Dalam 11 UU Tipikor disebutkan lama pidana penjara paling singkat 1 tahun dan maksimal 5 tahun. Sementara untuk denda yang dikenakan paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Pada pasal tersebut dijelaskan penerimaan hadiah atau janji diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jabatannya.
Hal ini berbeda dengan Pasal 12 yang menyebut penerimaan dilakukan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.