JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka peluang mengusut dugaan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang dilakukan eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo.
Hal ini disampaikan menanggapi desakan Indonesia Corruption Watch (ICW) yang meminta KPK segera menerbitkan surat perintah penyelidikan atas dugaan TPPU terhadap eks politikus Partai Gerindra tersebut.
"KPK sangat terbuka kemungkinan untuk terus melakukan pendalaman dan pengembangan perkara selain tindak pidana korupsi," kata Plt Juru Bicara KPK Bidang Pencegahan Ipi Maryati kepada wartawan, Jumat, 16 Juli.
Hanya saja, komisi antirasuah harus lebih dulu mengantongi bukti yang cukup. "Hal ini dilakukan di antaranya dengan lebih dulu menganalisis seluruh fakta hukum selama proses persidangan yang termuat dalam pertimbangan putusan majelis hakim," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, ICW mendesak KPK segera mengusut dugaan pencucian uang yang dilakukan Edhy karena dalam persidangan sudah ada bukti awal yang disampaikan.
"Misalnya, modus menggunakan pihak lain sebagai pembeli properti guna menyamarkan aset hasil kejahatan atau bahkan meminjam rekening orang ketiga untuk menerima sejumlah uang suap," kata peneliti ICW Kurnia Ramadhana kepada wartawan.
Hanya saja, Kurnia mengaku pesimis KPK bakal mengusut dugaan pencucian uang yang dilakukan Edhy. Sebab, penyidik yang mengurusi kasus suap ekspor benur atau benih lobster ada yang dinonaktifkan setelah dinyatakan tak lolos Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) sebagai syarat alih status pegawai.
"Akan tetapi, kembali lagi, itu ekspektasi publik. Namun, realita yang terjadi justru penyidik perkara suap ekspor benih lobster dipecat melalui," ujarnya.
Adapun salah satu Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) KPK yang menangkap Edhy adalah Novel Baswedan. Dia merupakan satu dari 75 pegawai KPK yang tak lolos dalam tes tersebut.
BACA JUGA:
Dalam kasus ini, Edhy Prabowo terbukti menerima suap 77 ribu dolar Amerika Serikat dari Direktur PT Dua Putra Perkasa Pratama (DPPP), Suharjito, terkait izin ekspor benur.
Selain itu, dia juga terbukti menerima Rp24.625.587.250 sebagai bagian keuntungan yang tidak sah dari PT Aero Citra Kargo (ACK) terkait biaya pengiriman jasa kargo benur dari perusahaan eksportir.
Atas perbuatannya, Edhy kemudian divonis 5 tahun penjara atas kasus suap izin ekspor benih lobster atau benur. Selain itu, dia juga dijatuhi sanksi denda sebesar Rp400 juta subsider 6 bulan penjara.
Majelis hakim juga memutuskan hukuman tambahan bagi Edhy Prabowo dengan kewajiban membayar uang pengganti atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya sebesar Rp9,68 miliar dan 77 ribu dolar Amerika Serikat (AS). Bila uang pengganti tidak dibayarkan, Edhy Prabowo harus menjalani pidana penjara tambahan selama 2 tahun
Selain itu, majelis hakim dalam putusannya juga mencabut hak dipilih Edhy Prabowo dalam jabatan publik (politik) selama tiga tahun.