Bagikan:

JAKARTA - Desakan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk bersikap terkait Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bermasalah disuarakan oleh sejumlah pihak. Hanya saja, pihak istana meminta jangan semua persoalan harus diarahkan kepada eks Gubernur DKI Jakarta.

Koalisi Masyarakat Sipil Selamatkan KPK mendesak Presiden Jokowi untuk menindaklanjuti temuan serta rekomendasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Ombudsman RI terkait tes yang jadi syarat alih status pegawai komisi antirasuah.

Kedua lembaga ini menemukan adanya pelanggaran dan maladministrasi yang terjadi selama proses TWK berlangsung. Dalam temuannya, Komnas HAM bahkan menyebut terjadi 11 pelanggaran saat tes tersebut diselenggarakan dan berujung pada penonaktifan 75 pegawai KPK termasuk Novel Baswedan.

"Presiden harus menindaklanjuti temuan dan rekomendasi Komnas HAM untuk mengambil alih langsung penanganan dan pengangkatan 75 Pegawai KPK dan meminta Kesekjenan KPK untuk segera membatalkan seluruh proses TWK dan mengangkat serta memulihkan kembali harkat, martabat, status posisi, dan jabatan dari 75 Pegawai KPK ini," kata perwakilan koalisi ini dari YLBHI, M Isnur dalam keterangannya yang dikutip Rabu, 18 Agustus.

Hal senada juga diungkap Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena. Ia mendesak Presiden Jokowi untuk melaksanakan rekomendasi Komnas HAM dengan mengangkat puluhan pegawai yang gagal dalam tes tersebut.

"Kami mendesak Presiden Jokowi untuk melaksanakan rekomendasi Komnas HAM terutama dengan memulihkan status pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat TWK untuk diangkat menjadi ASN KPK," tegasnya dalam keterangan tertulisnya.

Selain itu, Jokowi juga diminta untuk melaksanakan evaluasi menyeluruh dalam proses TWK untuk mencegah pelanggaran terjadi lebih lanjut di internal KPK.

Apalagi, temuan Komnas HAM menunjukkan proses alih status kepegawaian yang dilakukan KPK bersama Badan Kepegawaian Negara (BKN) itu ternyata melanggar hak pegawai termasuk hak atas pekerjaan, kebebasan berpendapat, beragama dan berkeyakinan, serta tidak didiskriminasi.

"Terlebih lagi, Komnas HAM juga mengindikasikan bahwa proses TWK diduga kuat merupakan bentuk penyingkiran terhadap pegawai dengan latar belakang tertentu, dan pegawai tersebut disasar karena aktivitas kerja profesionalnya di KPK. Ini menunjukkan bahwa ada upaya untuk melemahkan kerja antikorupsi KPK, yang akan berdampak kepada pemenuhan hak-hak masyarakat," kata Wirya.

Berbagai desakan ini kemudian ditanggapi oleh Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko yang meminta segala polemik ini tak dibebankan kepada Presiden Jokowi.

"Jangan semua persoalan itu lari ke Presiden. Terus ngapain yang di bawah? Saya pikir persoalan kepegawaian itu ada yang mengatur," kata mantan Panglima TNI ini kepada wartawan di Jakarta.

Moeldoko mengatakan dalam struktur organisasi di lembaga tentunya ada pejabat dan memiliki tanggung jawab termasuk untuk menindaklanjuti polemik semacam ini.

Lagipula, dia yakin Badan Kepegawaian Negara (BKN) telah memiliki standar sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan tes sebagai syarat alih status tersebut. "(Jadi, red) semaksimal mungkin Presiden tidak terlibat di dalamnya," tegas Moeldoko.

Lebih lanjut, mantan Panglima TNI tersebut meminta semua pihak untuk berhenti menarik Jokowi dalam persoalan ini. "Berilah ruang kepada Presiden untuk berpikir yang besar," ungkap Moeldoko.

"Persoalan-persoalan teknis itu pembantu yang menjalankan dan itu memang strukturnya begitu agar struktur organisasi ini berjalan efektif. Kalau enggak berbelit nanti," pungkasnya.