Bagikan:

JAKARTA - Fenomena sosial aksi tawuran mendapat sorotan dari Sosiolog asal Universitas Indonesia, Ida Ruwaida. Ida menilai tawuran yang kerap kali terjadi di kampung padat penduduk Johar Baru, Jakarta Pusat, bermotif sebagai ajang eksistensi antar kelompok warga.

Dari hasil pemetaan tim Sosiolog UI, setidaknya ada 50 geng atau kelompok warga yang tersebar di kelurahan, yakni Tanah Tinggi, Johar Baru dan Kampung Rawa. Oleh sebab itu, tak heran jika kawasan Johar Baru dikenal sebagai kampung tawuran.

"Studi kami menunjukkan bahwa motif tawuran memang bisa hal-hal sepele, bahkan menjadi ajang eksistensi dari kelompok atau geng," kata Ida saat dihubungi, Rabu 18 Agustus.

Menurut para sosiolog, motif terjadinya tawuran pada kelompok warga di Johar Baru, yakni "violence for fun".

Ida menjelaskan bahwa tawuran dapat distimulus oleh cekcok antarwarga, apalagi jika ada pihak-pihak lainnya yang ikut memprovokasi.

Dengan begitu, tawuran dapat terjadi bukan lagi antar warga tetapi lebih merupakan tawuran antar kelompok, termasuk yang sering terjadi yakni kelompok warga di Kelurahan Tanah Tinggi (Baladewa) versus warga di Kelurahan Kampung Rawa.

Dari hasil kajian sejak 2011, setidaknya selama 10 tahun terakhir, frekuensi tawuran relatif menurun. Namun, sepanjang tahun ini, setidaknya tawuran di Johar Baru terjadi lebih dari tiga kali.

"Hal menarik ada indikasi bahwa tawuran bisa distimulus oleh pihak-pihak tertentu yang dimungkinkan memiliki agenda terselubung," kata Ida.

Kondisi rendahnya pendidikan dan lemahnya keterampilan membuat kelompok warga usia muda ini menjadi rentan, marginal, bahkan terstigma.

"Kondisi ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial ekonomi masyarakat Johar Baru yang kumuh, miskin dan padat," kata Ida.

Oleh karenanya, polisi maupun pemerintah perlu melakukan pendekatan yang lebih persuasif dan edukatif di lintas kelompok warga atau lintas geng yang berfokus pada kegiatan seni budaya dan pelatihan keterampilan hidup.