Bagikan:

JAKARTA - Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan Presiden Joko Widodo tak pernah pusing dengan kritik yang disampaikan oleh masyarakat. Tapi Moeldoko mengingatkan kritik harus disampaikan dengan cara yang beradab dan bertata krama.

"Presiden sangat terbuka, enggak pernah pusing dengan kritik tetapi beliau selalu menyisipkan sebuah kalimat yang indah, kita orang timur memiliki adat. Jadi kalau mau mengkritik yang beradab, tata krama," kata Moeldoko kepada wartawan di Jakarta, Rabu, 18 Agustus.

Dia mengatakan, pemerintah selama ini juga tidak pernah antikritik. Hanya saja, dia meminta masyarakat untuk memperhatikan lagi bagaimana kritik kerap kali disampaikan dengan cara sembarangan.

"Ukuran kultur kita itu supaya dikedepankan bukan hanya berbicara antikritik, antikritik. Tapi cobalah lihat cara-cara mengkritiknya," tegas mantan Panglima TNI tersebut.

Moeldoko juga menilai banyak pihak yang belakangan ini kerap menyamakan kritik dengan fitnah padahal dua hal ini berbeda. Selain itu, dia juga menyayangkan banyak tokoh yang justru memperkeruh suasana ketika ada kritikan yang dilontarkan kepada pemerintah.

"Ini sering terjadi di kita dan banyak tokoh-tokoh kita yang tidak memberikan pendidikan kepada mereka-mereka itu dan justru terlibat di dalamnya untuk memperkeruh situasi. Janganlah seperti itu," ungkapnya.

Selain itu, Moeldoko juga meminta semua pihak untuk menganggap Presiden Jokowi sebagai orang tua yang harusnya dihormati dengan cara tidak sembarangan berbicara. "Jangan sembarangan menyatakan sesuatu dalam bentuk kalimat atau dalam bentuk gambar," kata Moeldoko.

"Jangan setelah itu minta maaf. Ini apa bangsa ini. Berbuat sesuatu habis itu ada tindakan kemudian minta maaf. Harusnya bangsa yang baik adalah bangsa yang berpikir dulu sebelum bertindak," imbuhnya.

Masyarakat sambung Moeldoko diminta tidak langsung menuding pihak kepolisian bersikap represif terhadap pihak yang diduga menyebar fitnah atau berbuat onar. Karena bisa saja, pemanggilan itu dilakukan dalam rangka membina.

"Bisa saja (dipanggil, red) diajak ngopi-ngopi dulu, dibina, dan seterusnya agar tidak melakukan hal-hal yang tidak baik. Jadi jangan dijustifikasi represif dan seterusnya," pungkasnya.