JAKARTA - Sertifikat vaksinasi COVID-19 sekarang menjadi kartu sakti. Sebab bukti tanda sudah vaksin itu menjadi tiket masuk di beberapa tempat publik.
Namun sayangnya, hal ini malah dijadikan ladang bisnis bagi para oknum. Kasus semacam ini pun kerap terjadi. Apa yang salah dari kebijakan publik semacam ini?
12 Agustus kemarin, Polres Klaten, Jawa Tengah membongkar sindikat pembuat sertifikat vaksinasi COVID-19 palsu. Dua orang ditetapkan sebagai tersangka pada kasus ini. Mereka adalah YNH (29) warga Desa Ngering, Kecamatan Jogonalan dan EP (29) warga Desa Blimbing, Karangnongko, Klaten.
Mulanya Polsek Klaten mengendus informasi terkait pembuatan sertifikat vaksinasi palsu dari media sosial. Setelah diselidiki, pada Minggu 23 Juli, polisi mengamankan dua orang penyebar informasi pembuatan sertifikat tersebut di rumah masing-masing. Ternyata keduanya juga berperan langsung dalam pengeditan fotokopi KTP untuk pembuatan sertifikat.
Setidaknya sudah ada 50 orang lebih yang memesan sertifikat vaksinasi palsu tersebut. Akibat tindakan itu, pelaku terancam terjerat Pasal 263 ayat 1 KUHP dengan hukuman penjara paling lama 6 tahun.
Sebelumnya, pemerintah melakukan uji coba pembukaan mal dan pusat perbelanjaan di beberapa tempat. Yang boleh masuk cuma warga yang punya sertifikat vaksinasi COVID-19. Di Jakarta, sertifikat vaksinasi menjadi syarat untuk melakukan segala jenis aktivitas.
BACA JUGA:
Pengamat kebijakan publik Azas Tigor Nainggolan. Dia menilai kalau sertifikat vaksin dijadikan syarat mobilitas seperti sekarang, hal ini memang bakal menimbulkan masalah. "Makanya saya enggak setuju," kata dia.
Selain karena belum semua orang divaksin, kebijakan semacam ini menurut Tigor kerap menjadi peluang bisnis ilegal. "Yang kaya beginilah jadi peluang bisnis ilegal."
Kalaupun memang betul-betul ingin membuat aturan seperti ini, Tigor bilang pengawasannya harus betul-betul dijalankan. "Makanya harus benar-benar kebijakannya. Kalau yang sekarang ini terlihat belum siap... Makanya saya tolak."
Simak selengkapnya di video ini: