Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengatakan, belum siap melaksanakan Pilkada serentak 2020 dengan cara online atau e-voting. KPU akan tetap melakukan pemungutan suara seperti biasanya.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, sebenarnya sistem e-voting sudah bisa dilakukan. Sebab, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan nomor 147/PUU-VII/2009 yang mengakomodasi pemilu berbasis e-voting. 

Namun, untuk menerapkan e-voting, ada sejumlah syarat yang harus dipenuhi oleh penyelenggara pemilu. Syarat itu bukan hanya menyiapkan sistem elektronik saja. Pertama, syarat dasarnya adalah kepercayaan masyarakat pada kinerja KPU.

"Masyarakat harus percaya terlebih dulu, bahwa petugas penyelenggaraan pemilu itu kredibel dan mereka punya pengetahuan yang cukup soal teknologi yang akan digunakan itu. Karena, kalau masyarakat tidak puas atau peserta pemilu merasa dicurangi, mereka bisa pergi ke pengadilan untuk menuntut atau keadilan pemilu," kata Titi saat dikonfirmasi, Kamis, 18 Juni. 

Kemudian, penyelenggara pemilu seperti KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus mengkaji secara dalam mengenai sistem e-voting. Bertepatan dengan pagebluk COVID-19, KPU mesti memikirkan ulang apakah hal yang paling dibutuhkan adalah e-voting atau bukan. 

"Ini kan Pilkada di tengah pandemi. e-Voting diusulkan supaya tidak berkerumun. Apakah memang solusinya itu adanya di teknologi? itu harus ada kajian dan identifikasi masalah," jelas Titi. 

"Jangan-jangan, solusinya bukan teknologi e-voting. Tetapi, justru yang diperlukan adalah protokol disiplin lalu alat pelindung diri yang masif dan juga dukungan pembiayaan untuk memenuhi berbagai protokol kesehatan," lanjut dia. 

Setelah sudah mengkaji secara matang dan memutuskan e-voting bisa digunakan dalam pemilu, harus ada uji coba berkala dan berulang. Hal ini untuk melihat sejauh mana kesiapan sumber daya penyelenggara pemilu. 

"Apakah kita cukup nih menuju Desember 2020 untuk memastikan petugas dan pemilih memahami penggunaan sistem itu? Pemilih ini bukan hanya biasa, tapi temen-temen penyandang disabilitas juga harus dipastikan mereka bisa beradaptasi menggunakan teknologi tersebut," kata Titi. 

Lebih lanjut, KPU harus memastikan transparansi proses pengadaan sistem. Titi mengakui, harga perangkat teknologi, baik sofrware maupun hardware, itu relatif mahal.

"Jangan sampai, biaya yang besar justru malah berujung pada praktik yang koruptif gitu, apalagi kalau dilakukan tergesa-gesa terburu-buru, tanpa ada studi kelayakan dan juga kajian yang baik terkait itu," pungkasnya.