Menkominfo Usul Pemilu 2024 Secara E-voting, Apa Respon DPR dan KPU?
Jhonny G. Plate/Foto: Antara

Bagikan:

JAKARTA - Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengusulkan pemungutan suara Pemilu 2024 dilakukan secara online atau e-voting. Usulan ini disampaikan Johnny saat rapat kerja dengan Komisi I DPR pada Selasa, 22 Maret. 

Terbaru, Menkominfo menyinggung Pemilu online bebas dan adil melalui sistem e-voting yang sudah diterapkan di Estonia. Dia kemudian mendorong agar Pemilu 2024 di Indonesia juga menggunakan e-voting.

"Melalui pemungutan suara online yang bebas, adil, dan aman, serta melalui sistem e-vote atau internet voting. Estonia telah melaksanakannya sejak 2005 dan ini telah memiliki sistem pemilihan umum digital di tingkat kota, negara, dan di tingkat Uni Eropa yang telah digunakan oleh 46,7 persen penduduk. Jadi bukan baru, termasuk KPU ini sudah lama juga menyiapkannya," ujar Johnny dalam keterangannya, Kamis, 24 Maret.

Johnny mengatakan pengadopsian teknologi digital bisa bermanfaat dalam proses pemilu. Menurutnya, pemungutan suara secara digital atau online bisa mewujudkan proses kontestasi politik yang efektif dan efisien.

"Pengadopsian teknologi digital dalam kegiatan pemilu memiliki manfaat untuk mewujudkan efektivitas dan efisiensi dalam proses kontestasi politik yang legitimate, baik dalam tahapan pemilih, verifikasi identitas pemilih, pemungutan suara, penghitungan suara, hingga transmisi dan tabulasi hasil pemilu," ucapnya.

Johnny menyebut beberapa negara bahkan sudah mulai melakukan hal tersebut, salah satunya India. Karena itulah, kata dia, Indonesia bisa mulai melakukan studi berkaitan dengan voting jarak jauh tersebut.

Lalu, bagaimana respon DPR dan KPU terkait usulan Menkominfo?

Anggota Komisi I DPR Fraksi PKS Sukamta setuju dengan usulan tersebut. Menurutnya, e-voting bisa meminimalisir risiko korban jiwa petugas pemilu seperti pada Pemilu 2019 lalu. 

"Ini usulan bagus. Kalau prasyarat-prasyaratnya bisa terpenuhi, itu akan terjadi efisiensi anggaran yang luar biasa dan efektivitas kerja yang besar. Korban jiwa petugas pemilu karena kelelahan dan lain-lain akan bisa dihindari," kata Sukamta saat dihubungi, Kamis, 24 Maret. 

Meski begitu, Wakil Ketua Fraksi PKS ini mewanti-wanti ada sejumlah prasyarat utama yang harus dipersiapkan. Selain itu, dia mengingatkan terkait masalah keamanan dari serangan siber.

"Prasyarat utamanya antara lain adalah tersedianya sistem yang cukup kapasitasnya sehingga bisa diakses dan di-upload secara serentak se-Indonesia, serta yang tidak kalah penting adalah security. Hampir pasti server akan menjadi sasaran serangan siber dari berbagai pihak," ucapnya.

Kemudian, anggota DPR Dapil DI Yogyakarta itu juga mengingatkan soal stabilitas dan transparansi sistem. Jangan sampai, kata dia, server tiba-tiba mati ketika proses pemungutan suara sedang berlangsung.

"Selain itu, soal stabilitas dan transparansi sistem dan pengelolaan sehingga bisa dipantau oleh semua pihak. Jangan sampai tiba-tiba server mati karena berbagai alasan dan tiba-tiba on dan pemilu serta perhitungan sudah selesai. Bisa geger kalau itu terjadi," katanya.

"Persiapan harus super-matang karena ini menyangkut nasib seluruh pejabat publik penting di eksekutif dan legislatif," lanjut dia

Senada, Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi PDIP, Junimart Girsang juga tak mempermasalahkan usulan tersebut. Asalkan, kata dia, Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara siap.

"Kita kembalikan kepada kesiapan penyelenggara pemilu untuk menerapkan sistem e-voting. Bila KPU siap untuk itu kenapa tidak," kata Junimart kepada wartawan, Kamis, 24 Maret. 

Junimart mempersilakan usulan tersebut dipresentasikan KPU dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi II. Menurutnya Undang-undang (UU) Pemilu bisa direvisi jika model e-voting disepakati dalam rapat.

"Monggo dipresentasikan dalam RDP atau RAKER di Komisi II DPR-RI yang akan kami rencanakan diadakan tgl 11-12 April 2022. Ya-revisi bisa dilakukan apabila model e-voting disepakati dan diputuskan dalam RDP atau Raker di Komisi II," ucapnya.

Lebih lanjut Junimart mengatakan digitalisasi Pemilu harus memenuhi nilai demokrasi. "Digitalisasi atau teknologi digital Pemilu harus memenuhi nilai dan syarat-syarat demokrasi," jelasnya.

Sebelumnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah merespon soal usulan Menkominfo ini. KPU menilai pemungutan suara secara elektronik atau electronic voting (e-voting) belum menjadi prioritas pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Anggota KPU, Hasyim Asyari mengungkapkan sejumlah alasan Pemilu 2024 kemungkinan besar masih akan menggunakan sistem pemungutan suara secara konvensional seperti pemilu-pemilu edisi terdahulu.

“Kalau e-voting itu maksudnya langsung (mencoblos) online, itu masih sekitar 40 persen kabupaten belum terkoneksi internet, belum listriknya,” kata Hasyim, Selasa, 22 Maret. 

Hasyim menambahkan, mekanisme e-voting bisa bermacam-macam, dilihat dari praktik di berbagai negara. Namun, apa pun metodenya, e-voting diklaim sangat bergantung pada tingkat kepercayaan publik di suatu negara.

Kemudian, keamanan data suara menjadi isu yang sangat disorot. Hasyim memberi contoh bagaimana Jerman, negara dengan teknologi maju dan kematangan demokrasi yang baik, akhirnya kembali ke sistem pemilu konvensional.

“Pertanyaannya, siapa yang bisa melacak server (yang berisi data suara), padahal pemilu ada aspek rahasia. Kalau kemudian datanya dipertanyakan, jangan-jangan digeser atau terbaik, itu yang menjadi pertimbangan hakim MK di Jerman membatalkan (e-voting), kembali pakai surat suara manual, kertas,” kata dia.

Menurut Hasyim, masyarakat Indonesia tergolong bukan masyarakat dengan kepercayaan politik yang tinggi. Ia memberi ilustrasi bagaimana warga mencurigai KPU pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI 2017, hanya karena laptop yang digunakan oleh KPU merupakan barang hibah dari Pemprov DKI yang gubernurnya, Basuki Tjahaja Purnama, ikut dalam kontestasi.

“Makanya yang paling penting itu political trust terhadap proses,” kata Hasyim.

Ia menilai, metode pemungutan suara secara konvensional masih jadi pilihan paling tepat saat ini.

“Kotak suara kita itu di dalam surat suara diamplopi, amplopnya disegel, dimasukkan ke kotak, kotaknya disegel, digembok, ada yang pakai kabel tis, mulut kotak suara disegel, lalu masih dikawal polisi atau aparat keamanan,” pungkasnya.