JAKARTA - Otoritas Jepang mengumumkan hanya akan merawat pasien COVID-19 yang parah dan mereka yang berpotensi parah di rumah sakit, dengan para pelanggar protokol kesehatan COVID-19 akan diumumkan ke publik.
Lonjakan kasus infeksi COVID-19, membuat Jepang kewalahan. Pekan lalu, ibu kota Jepang, Tokyo mengumumkan rekor 4.085 infeksi harian pada Sabtu 31 Juli. Tak hanya itu, kasus infeksi harian nasional pun mencatat rekor untuk pertama kalinya mencapai 10.000 kasus, seperti dilaporkan media setempat.
Rumah sakit Tokyo sudah merasakan krisis, Hironori Sagara, direktur Rumah Sakit Universitas Showa, mengatakan kepada Reuters.
"Ada yang ditolak berulang kali untuk masuk. Di tengah kegembiraan Olimpiade, situasi tenaga medis sangat parah," tuturnya seperti dikutip Selasa 2 Agustus.
Perdana Menteri Yoshihide Suga, yang mengumumkan perubahan padaHhari Senin mengatakan, pemerintah akan memastikan orang-orang yang diisolasi di rumah dapat dirawat di rumah sakit jika perlu. Kebijakan sebelumnya berfokus pada rawat inap kategori pasien yang lebih luas. Tetapi, beberapa khawatir pergeseran itu dapat menyebabkan lebih banyak kematian.
"Mereka menyebutnya perawatan di rumah, tetapi sebenarnya itu adalah pengabaian di rumah," kritik pemimpin oposisi Partai Demokrat Konstitusi Jepang Yukio Edano seperti dikutip oleh TV publik NHK.
Hampir 70 persen tempat tidur rumah sakit untuk pasien COVID-19 yang sakit parah terisi pada Hari Minggu, data Tokyo menunjukkan. Sagara dari Showa University Hospital mengatakan, ada perbedaan antara tempat tidur yang tersedia secara teoritis dan tempat tidur yang dapat menerima pasien dengan segera.
"Saya pikir yang terakhir mendekati nol," katanya, menambahkan bahwa jika infeksi terus meningkat, rumah sakit harus membatasi operasi dan perawatan non-COVID-19 lainnya.
"Kita harus menghindari situasi di mana Olimpiade diadakan, tetapi sistem medis runtuh. Saat ini, infeksi menyebar cukup banyak dan jika mereka melonjak lebih jauh, (Olimpiade) akan dianggap gagal," lanjutnya.
Menurut pedoman Kementerian Kesehatan, pasien yang sakit parah didefinisikan sebagai mereka yang dirawat di unit perawatan intensif (ICU) atau membutuhkan respirator buatan. Surat kabar Tokyo Shimbun mengatakan 12.000 pasien diisolasi di rumah, meningkat 12 kali lipat dalam sebulan terakhir.
Pekan lalu, PM Yoshihide Suga dan penyelenggara Olimpiade mengatakan tidak ada hubungan antara pesta olahraga empat tahunan antar negara tersebut, dengan lonjakan kasus infeksi COVID-19. Namun, para ahli medis mengatakan, penyelenggaraan Olimpiade mengirim pesan yang membingungkan tentang perlunya tinggal di rumah, berkontribusi pada peningkatan tersebut.
Terpisah, Kepala Sekretaris Kabinet Katsunobu Kato mengatakan kepada wartawan, jumlah orang lanjut usia di Tokyo yang terinfeksi kali ini menjadi lebih sedikit, setelah mayoritas kelompok ini sudah menerima vaksin COVID-19.
"Di sisi lain, infeksi pada orang yang lebih muda meningkat dan orang-orang berusia 40-an dan 50-an dengan gejala parah meningkat. Dengan orang-orang yang juga dirawat di rumah sakit dengan serangan panas, beberapa orang tidak dapat segera dirawat dan pulih di rumah," jelasnya.
Jepang pada hari Senin memperluas keadaan daruratnya untuk memasukkan tiga prefektur di dekat Tokyo dan prefektur barat Osaka. Keadaan darurat yang diberlakukan di Tokyo, yang keempat sejak pandemi dimulai dan Okinawa akan berlangsung hingga 31 Agustus.
Sementara itu, otoritas Jepang mengeluarkan ancaman akan mempermalukan secara terbuka orang-orang yang tidak mematuhi protokol kesehatan COVID-19. Tiga warga yang melanggar aturan karantina setelah kembali dari luar negeri, diumumkan pada Senin malam waktu setempat.
BACA JUGA:
Nama ketiganya disebutkan secara jelas, setelah bertindak untuk menghindari kontak dengan pihak berwenang setelah baru-baru ini kembali dari luar negeri. Pengumuman untuk pertama kalinya ini, memicu spekulasi di antara pengguna Twitter tentang rincian dari mereka yang diidentifikasi, seperti pekerjaan dan lokasi mereka.
Untuk diketahui, Jepang meminta semua pelancong dari luar negeri, termasuk warganya sendiri, untuk melakukan karantina sendiri selama dua minggu, di mana mereka diminta untuk menggunakan aplikasi ponsel pelacak lokasi dan melaporkan kondisi kesehatan mereka.