Bagikan:

JAKARTA - LSI Denny JA merilis hasil penelitian mereka mengenai kondisi masyarakat Indonesia di masa pagebluk COVID-19. Hasilnya, kecemasan masyarakat Indonesia kini bergeser dari masalah pagebluk ke sektor ekonomi.

Temuan ini merupakan hasil riset yang dilakukan LSI Denny JA dengan kajian data sekunder dari sejumlah lembaga, seperti Gallup Pol, Worldometer, serta data LSI Riset eksperimental Denny JA dan Eriyanto.

Menurut peneliti LSI Denny JA, Rully Akbar, masyarakat lebih cemas dengan kondisi ekonomi dibandingkan virus corona. Ada lima alasan kecemasan tersebut bergeser.

Pertama, kata Rully, pergeseran ini terjadi karena masyarakat melihat berita banyaknya negara yang mampu mengendalikan virus tersebut dan melampaui puncak penyebaran virus. Di antaranya, Selandia Baru, Jerman, Hongkong, dan Korea Selatan. Meski vaksin virus ini belum ditemukan, tapi berita keberhasilan sejumlah negara tadi, berdampak mengurangi kecemasan masyarakat. 

"Contoh konkret negara yang sukses itu sudah cukup mengurangi kecemasan atas virus. Apalagi, diberitakan pula kegiatan ekonomi di negara tersebut secara bertahap mulai hidup lagi," ungkap Ruli dalam konferensi pers secara daring yang disiarkan di YouTube, Jumat, 12 Juni.

Kedua, kata dia, masyarakat telah mampu menjaga protokol kesehatan untuk menghindari penyebaran COVID-19. Penerapan protokol kesehatan dianggap sebagai salah satu langkah mencegah penyebaran virus tersebut.

Ketiga, masyarakat jadi lebih peduli dengan kondisi ekonomi karena tabungan mereka makin menipis. Hal ini disebabkan karena diberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB), terjadinya penutupan berbagai dunia usaha, dan makin kurangya kemampuan ekonomi rumah tagga. 

Sehingga, kata dia, kecemasan terpapar COVID-19 menurun, masyarakat kini lebih khawatir dengan kondisi keuangan dan ekonomi mereka. 

"Ini dirasakan di lapisan menengah bawah. Apalagi sektor informal, bayangan akan kesulitan ekonomi, bahkan kelaparan terasa lebih mengancam dan konkret," tegasnya.

Selain itu, masyarakat mulai melihat, jumlah warga yang mengalami kesulitan ekonomi lebih banyak ketimbang jumlah warga yang terpapar COVID-19. Hal ini juga biikin masyarakat jadi cemas.

Terakhir, lanjutnya, grafik penularan COVID-19 di Indonesia yang makin landai dan menurun dianggap menjadi salah satu penyebab kecemasan masyarakat terhadap virus juga menurun.

"Ini berbanding dengan grafik kesulitan ekonomi yang diukur dari PHK, yang mengambil pesangon Jamsostek terus bertambah dari bulan ke bulan," kata Rully.

"Grafik inilah yang juga membuat kecemasan atas terpapar virus corona melemah sedangkan kecemasan atas virus ekonomi justru meninggi," imbuhnya.

Kecemasan ini harus diantisipasi

Rully menilai, kecemasan terhadap ekonomi yang menurun harus menjadi perhatian bagi pemerintah. Apalagi, ancaman kelaparan dan pengangguran adalah hal yang dirasakan langsung masyarakat, dan menjadi musuh yang nyata. Sementara virus corona, kata dia, diibaratkan melawan musuh yang tidak kelihatan. 

"Mereka yang lapar, yang dihalangi kerja, tidak pula menerima bantuan sosial yang memadai dapat berubah menjadi mereka yang marah. Hungry man becomes angry man," ungkap Rully.

Menurutnya, rakyat yang lapar dan marah bisa dengan mudah memantik kerusuhan sosial serta mengubah krisis kesehatan menjadi krisis ekonomi, krisis sosial, dan politik. "Sehingga kesulitan ekonomi publik perlu diantisipasi agar tidak meledak menjadi kerusuhan sosial," tegasnya.

Namun, Rully meminta pemerintah tidak gegabah. Jangan sampai keinginan kembali menghidupkan perekonomian, justru membawa dampak berbahaya bagi kesehatan masyarakat di masa pagebluk COVID-19.

"Gelombang kedua virus tetap harus diwaspadai. Pembatasan sosial perlu dilakukan, namun dalam skala yang lebih kecil. Pemerintah juga harus tegas membuka dan menutup kembali klaster yang rawan penyebaran dan mengedukasi protokol kesehatan di masyarakat," pungkasnya.