Nota Kesepahaman Pelaksanaan TWK Pegawai KPK Dibuat <i>Back Date</i>, Pakar Hukum: Berpotensi Pidana!
Ilustrasi (Foto: Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pakar hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyebut ada potensi pidana dari temuan maladministrasi proses Asemesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) oleh Ombudsman RI.

Temuan ini berkaitan dengan manipulasi nota kesepahaman dan kontrak yang ditandatangani oleh KPK dan Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk melaksanakan TWK sebagai syarat alih status pegawai.

Ombudsman menyatakan ada penggantian tanggal atau back date nota kesepahaman pengadaan barang serta jasa lewat swakelola dan kontrak swakelola pelaksanaan TWK. Sehingga, tes itu berjalan sebelum kesepakatan antara KPK dan BKN ditandatangani.

"Perjanjian yang ditandatangani seolah-olah sudah ditandatangani pada waktu sebelumnya sesungguhnya itu langkah manipulasi," kata Fickar kepada VOI, Senin, 26 Juli.

Dugaan manipulasi ini makin menguat jika dimaksudkan untuk menutupi peristiwa yang cenderung merugikan orang lain. Selain itu, dugaan manipulasi ini juga bersinggungan dengan pemberian keterangan palsu.

Sehingga, menurut Fickar, penandatanganan nota kesepahaman secara back date ini dapat dikenakan ancaman pidana yang diatur dalam Pasal 242 KUHP dengan hukuman 7 tahun penjara bagi pelakunya.

"Hal itu artinya kebohongan yang dalam perspektif pidana diatur pada Pasal 242 KUHP dengan ancaman 7 tahun penjara yang mengatur soal keterangan palsu atau kebohongan yang diberikan oleh seseorang," tegasnya.

Pasal ini, kata Fickar, juga dapat digunakan untuk melaporkan terjadinya penandatanganan berita acara rapat harmonisasi yang dilakukan oleh pihak yang tak hadir.

Sebelumnya, sebanyak 75 pegawai KPK yang dinyatakan tak lolos TWK melaporkan nasib mereka ke sejumlah lembaga seperti Komnas HAM dan Ombudsman RI. Laporan ini dibuat karena mereka menduga ada pelanggaran yang terjadi dalam tes tersebut.

Setelah memeriksa sejumlah pihak termasuk Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron, Ombudsman RI kemudian mengumumkan temuannya pada Rabu, 21 Juli kemarin. Mereka menyebut terjadi maladministrasi dari mulai proses perencanaan hingga penetapan pegawai sebagai ASN.