KPK Tetap Gelar Diklat Bela Negara Meski Penolakan Berembus
Gedung KPK (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tetap melaksanakan Diklat Bela Negara dan Wawasan Kebangsaan bagi pegawainya yang tak lolos Asesmen Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) namun masih bisa diselamatkan.

Padahal di saat yang sama terdapat sejumlah pegawai yang tak lolos dan dinonaktifkan menolak ikut kegiatan ini. Para pegawai itu beralasan masih hasil tes yang membuat mereka gagal beralih status menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Ketua KPK Firli Bahuri membuka secara resmi Diklat Bela Negara dan Wawasan Kebangsaan yang digelar di Universitas Pertahanan, Sentul, Bogor, Jawa Barat. Dalam sambutannya, dia mengatakan, 18 dari 24 pegawai yang tetap bersedia ikut kegiatan tersebut berjiwa ksatria.

"KPK mengapresiasi seluruh pegawai yang bersedia mengikuti diklat tersebut," kata Firli dalam keterangan tertulisnya kepada wartawan, Kamis, 22 Juli.

Eks Deputi Penindakan KPK ini mengatakan 18 pegawai tersebut merupakan orang yang bersedia mengabdi kepada negara sesuai dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

"Hari ini jadi hari besar dengan jiwa ksatria di mana insan pegawai KPK bersedia mengabdi, cinta, dan setia untuk negara sesuai cita-cita yang termaktub dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar," ujarnya.

Diklat Bela Negara dan Wawasan Kebangsaan ini digelar mulai 22 Juli hingga 30 Agustus. Dari 18 pegawai yang mengikuti diklat ini, 16 orang akan mengikutinya secara langsung dan 2 pegawai melaksanakannya secara daring akibat terpapar COVID-19.

Materi diklat meliputi studi dasar, inti, dan pendukung. Studi dasar mencakup wawasan kebangsaan (4 Konsensus Dasar Negara); Sishankamrata; kepemimpinan berwawasan bela negara; pencegahan dan penanggulangan terorisme serta radikalisme; dan konflik sosial.

Sementara studi inti terdiri pengembangan dari nilai-nilai dan keterampilan dasar bela negara. Sedangkan studi pendukung antara lain pelaksanaan upacara pembukaan dan penutupan, muatan lokal (KPK), serta bimbingan dan pengasuhan.

Penolakan diklat karena hasil TWK belum diberikan

Firli Bahuri memang telah membuka kegiatan diklat itu. Tapi, 6 dari 24 pegawai yang harusnya ikut kegiatan ini memilih untuk tidak bersedia mengikutinya karena hasil tes mereka belum diberikan.

Salah satu pegawai yang tidak ikut dalam Diklat Bela Negara dan Wawasan Kebangsaan adalah Ita Khoiriyah atau yang biasa dipanggil Tata. Dia mengaku enggan ikut serta lantaran tidak ada kejelasan dan keterbukaan terkait proses hingga hasil asasemen TWK.

"Bagaimana saya bisa percaya bahwa pembinaan yang ada evaluasi dengan batas minimum skor dilakukan dengan transparan dan dapat dipertanggungjawabkan kalau KPK saja tidak mau buka hasil TWK saya pribadi?" tulisnya melalui akun Twitternya.

Dia menyampaikan pertanyaan tersebut saat menemui Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron yang meminta dirinya untuk menyerahkan surat kesesiaan mengikuti diklat bela negara. Tata mengaku bersedia ikut diklat asal mendapatkan hasil asasemen TWK dirinya.

Alih-alih mendapat informasi, Tata mengaku justru dianggap tak percaya dengan Pimpinan KPK. "Kamu tidak percaya dengan saya?" tulisnya menirukan ucapan Nurul Ghufron.

Lebih lanjut, dirinya mengatakan Ghufron berdalih hasil asesmen tak diberikan karena bersifat rahasia. Ini merupakan hasil yang didapat KPK setelah berkoordinasi dengan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Pegawai KPK nonaktif lain yang enggan mengikuti diklat bela negara adalah Hotman Tambunan. Keenggannya ini muncul lantaran kegiatan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang jelas dan dianggap sebagai bentuk kesewenangan perampasan hak asasi terhadap 75 pegawai KPK berstatus yang dinyatakan tak lolos.

Sebagai informasi, dari hasil TWK terdapat 75 pegawai yang tak lulus di mana salah satunya adalah penyidik senior Novel Baswedan. Dari angka tersebut, 24 di antaranya dapat diselamatkan sementara 51 pegawai lainnya akan diberhentikan pada November mendatang.

"Diklat itu sejak awal pelatuhan itu nggak ada dasar hukum karena PP nomor 41 tahun 2020 terkait alih status hanya dikenal dengan pelatihan orientasi, dan itu boleh dilakukan dalam konteks meningkatkan kompetensi seluruh pegawai bukan hanya yang 24 saja," kata Hotman Tambunan.

Dia berpendapat bahwa landasan aturan Diklat Bela Negara dan Wawasan Kebangsaanitu hanya berdasarkan berita acara 25 Mei yang ditandatangani enam lembaga negara. Sehingga, Hotman menganggap terjadi kesewenangan yang dilakukan oleh para kepala lembaga tersebut termasuk dalam pemecatan.

"Enam pimpinan lembaga ini telah melanggar undang-undang dengan menyalahgunakan wewenang dan berdasarkan UU 30 tahun 2014 sanksi adminstasi berat dan itu adalah masuk kepada pemecatan pejabat negara," pungkasnya.