JAKARTA - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai penerapan normal baru tak otomatis langsung membuat perekonomian Indonesia kembali pada kondisi membaik. Kebijakan tersebut harus didukung dengan beberapa hal di antarnya stimulus dan kepercayaan masyarakat, agar ekonomi bisa bergeliat di kondisi sulit ini.
Ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengatakan, pemulihan ekonomi akan bergantung pada kecepatan penanganan COVID-19. Ia menilai, meski dilakukan pelonggaran bukan berarti insentif yang diberikan oleh pemerintah juga ikut dilonggarkan.
"Jadi berdamai dengan COVID-19 walau belum ada vaksinnya tapi bukan berarti insentif kesehatan, stimulus kesehatan, protokol kesehatannya dilonggarkan," katanya, dalam video conference bersama wartawan, Sabtu, 6 Juni.
BACA JUGA:
Menurut Bhima, percepatan penanganan COVID-19 ini sangat berhubungan dengan besarnya stimulus yang digelontorkan oleh pemerintah. "Kedua bergantung dari besarnya stimulus. Stimulus kita sekarang masih relatif rendah walau sudah di top up tapi relatif masih rendah terhadap PDB. Kemudian ketiga kompensasi bagi UMKM apa," tuturnya.
Seperti diketahui, dana senilai Rp677,2 triliun digelontorkan pemerintah sebagai sarana penanganan COVID-19 dan penanganan pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Tak hanya itu, Bhima mengatakan, kepemimpinan di tengah pagebluk COVID-19 juga berpengaruh kepada kepercayaan masyarakat. Ia menilai, saat ini masyarakat Indonesia belum bisa mengikuti arahan pemerintah. Contohnya, masih banyaknya pemudik meski ada larangan pulang kampung.
Lebih lanjut, Bhima menggatakan, Vietnam bisa menjadi contoh. Saat negara lain belum menutup akses penerbangan, Vietnam sudah lebih dulu melakukan itu untuk melindungi warga negaranya. Bahkan, karena kedisiplinan masyarakatnya Vietnam berhasil menekan angka kematian positif COVID-19 hingga nol persen.
Bhima lantas membandingkan kondisi Indonesia dengan yang terjadi di Vietnam. Ia menilai, masyarakat di sana lebih patuh karena adanya kepercayaan publik terhadap kepemimpinan di negera tersebut.
"Itu kenapa Vietnam bisa percaya kepada pemerintah? karena ternyata menariknya Vietnam punya insentif yang keren banget, dia punya ATM beras. Jadi orang enggak khawatir kelaparan kerena pemerintah membuat ATM-ATM beras, bahkan WNA di sana juga mendapatkan bantuan," jelasnya.
Selain itu, kata Bhima, agar normal baru berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi diperlukan koordinasi pemerintah pusat dan daerah. Kebijakan ini tidak akan maksimal jika tidak ada kesepahaman dari semua pihak yang terkait dalam penanganan COVID-19.
"Selama ini yang selalu bermasalah baik kesehatan atau subsidi adalah enggak ketemunya ego sektoral kementerian, lembaga, pemerintah pusat, Pemda. Ini telat, datanya enggak sinkron, dan segala macam. Itu yang harusnya kita mulai sama-sama mencari titik temunya maka koordinasi pusat dan daerah harus diperbaiki," katanya.