Mencari Titik Temu Kesehatan dan Ekonomi di Masa Pagebluk COVID-19
Tangkapan layar conference INDEF (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah berencana melakukan pelonggaran di sektor perdagangan, dengan mengeluarkan sejumlah kebijakan baru di masa pandemi virus corona. Beberapa pihak menilai, kebijakan ini akan menjadi titik temu antara kesehatan dan ekonomi dalam penerapan kenormalan baru.

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira mengatakan, new normal atau kenormalan baru adalah tantangan bagi semua pihak untuk beradaptasi dalam tatanan kehidupan baru. Tak hanya pemerintah, pelaku usaha dan masyarakat juga memiliki andil di dalamnya.

Bhima mengatakan, pelajaran dari sejarah krisis flu Spanyol pada tahun 1918 dapat dijadikan acuan dalam mengambil keputusan. Sebagai contoh, beberapa negara terburu-buru melakukan pelonggaran dan kemudian mengakibatkan gelombang kedua yang lebih berbahaya dari virus sebelumnya. 

Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah, untuk tidak terlalu terburu-buru mengeluarkan kebijakan. Pasalnya new normal, baru akan efektif jika dilakukan saat jumlah kasus sudah menurun dan masyarakat sadar untuk menjaga kesehatannya, seperti di Vietnam atau Korea Selatan.

"Ini yang menjadi salah satu pelajaran penting. Kita bisa petik bahwa yang disebut titik temu antara kesehatan dan ekonomi artinya bukan saling mengalahkan. Tapi kalau kita melihat dari sisi ekonomi perlu intervensi pemerintah tidak bisa dilepaskan saja," katanya, dalam video conference bersama wartawan, Sabtu, 6 Juni.

Selain itu, kata Bhima, pemerintah juga tidak bisa lepas tangan begitu saja dengan mengatakan harus berdamai dengan COVID-19 tanpa memberikan besarnya stimulus dan kompensasi bagi UMKM.

"Leadership masyarakat juga perlu. Koordinasi pusat dan pemda. Intervensi pemerintah untuk melakukan injeksi besar-besaran atau memberikan stimulus besar-besaran untuk menahan jangan sampai jatuh lebih dalam lagi. Itulah yang kemudian disebut sebenarnya keseimbangan jadi kesehatan penting, ekonomi penting tetapi swasta tidak bisa gerak maka di situlah peran pemerintah harus mendukung," jelasnya.

Normal Baru Seperti Otonomi Daerah

Relawan medis Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, dr. Tirta Mandira Hudhi mengatakan, sebenarnya yang akan dilakukan masyarakat pada normal baru menerapkan protokol kesehatan di segala aspek kehidupan. Sebenarnya ini sudah dilakukan sejak awal Maret, pakai masker dan jaga jarak.

Tirta menjelaskan, normal baru ini muncul karena ekonomi di setiap daerah itu menurunkan penghasilan sampai dengan separuh dari pendapatan dalam kondisi normal. Menurut dia, meski kebijakannya dikelurkan pemerintah pusat namun implementasinya disesuaikan oleh kondisi masing-masing daerah.

"Misalnya daerah A sudah green besoknya baik 10 kali lipat, si wali kota terkait harus menerpakan aturan tutup lagi, itu caranya. Itu yang diharapkan dari pusat. Kalau misalnya dia kuning lagi ya dibuka lagi. New normal itu mirip otonomi daerah jadi ini memang akan terjadi terus. Solusinya tracking dan tes," tutur Tirta.

Lebih lanjut, Tirta mengatakan, pagebluk COVID-19 tidak akan hilang. Bahkan jika jumlah kasus terus meningkat bukan tidak mungkin bisa sampai satu tahun atau dua tahun. Namun, ia mengingatkan, untuk tidak saling menyalahkan.

"Korsel udah dibuka, terus naik lagi. Ya COVID-19 kaya gitu, kita cuma bisa mengkontrol. Intinya ada hikmah pentingnya pola hidup bersih sehat. Aset tertinggi dari kita adalah kesehatan. Mau cepat (selesai)? yang harus kita lakukan adalah gotong royong mandiri, edukasi, dan saling mengingatkan," ucapnya.