AS Tingkatkan Peringatan Risiko Pelanggaran Hukum untuk Bisnis Terkait Xinjiang
Ilustrasi foto udara Kota Xinjiang, China (Wikimedia Commons/Anagoria)

Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada Hari Selasa menegaskan peringatannya di sektor bisnis, terkait meningkatnya risiko memiliki rantai pasokan dan hubungan investasi ke wilayah Xinjiang, China, mengutip kerja paksa dan pelanggaran hak asasi manusia di sana.

"Mengingat tingkat keparahan dan tingkat pelanggaran ini, bisnis dan individu yang tidak keluar dari rantai pasokan, usaha, dan/atau investasi yang terhubung ke Xinjiang dapat berisiko tinggi melanggar hukum AS," kata Departemen Luar Negeri dalam sebuah pernyataan, mengutip Reuters Rabu 14 Juli.

Menandakan koordinasi pemerintah AS yang lebih luas mengenai masalah ini, Departemen Tenaga Kerja dan Kantor Perwakilan Dagang AS bergabung dalam mengeluarkan nasihat yang diperbarui, yang pertama kali dirilis pada 1 Juli 2020 di bawah pemerintahan Donald Trump oleh Departemen Luar Negeri, Perdagangan, Keamanan Dalam Negeri dan Keuangan.

Departemen Keuangan menolak mengomentari laporan Financial Times, yang menyebut Amerika Serikat akan menjatuhkan sanksi lebih banyak minggu ini sebagai tanggapan atas tindakan keras China di Xinjiang dan Hong Kong. 

Sebuah sumber yang mengetahui masalah tersebut mengatakan, mereka mendengar pemerintah sedang mempersiapkan sanksi baru, tetapi tidak memiliki rincian tentang waktunya. Sumber lain mengatakan, pemerintah dapat mengumumkan nasihat bisnis serupa yang mencakup Hong Kong segera setelah Jumat, berdasarkan kondisi yang memburuk di sana.

uighur
Ilustrasi foto Muslim Uighur. (Sumber: Commons Wikimedia)

Peringatan baru yang diumumkan kemarin, memperkuat peringatan kepada perusahaan-perusahaan AS sebelumnya, mengenai risiko melanggar hukum AS jika bisnis mereka terkait, sekalipun secara tidak langsung dengan "jaringan pengawasan yang luas dan berkembang Pemerintah China di Xinjiang. Peringatan itu juga berlaku untuk dukungan keuangan dari modal ventura dan perusahaan ekuitas swasta.

Selain itu, peringatan ini juga merangkum tindakan yang diumumkan sebelumnya Pemerintahan Presiden Joe Biden untuk mengatasi dugaan kerja paksa dan pelanggaran hak di Xinjiang, termasuk larangan Bea Cukai dan Perlindungan Perbatasan AS pada beberapa impor produk surya, serta sanksi terhadap perusahaan dan entitas Xinjiang. 

Jumat pekan lalu, Pemerintah AS menambahkan 14 perusahaan China dan entitas lain ke daftar hitam ekonominya atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia dan pengawasan teknologi tinggi di Xinjiang.

Peringatan baru ini mengatakan, Pemerintah China melanjutkan pelanggaran mengerikan di Xinjiang dan di tempat lain, menargetkan Uighur, etnis Kazakh, dan etnis Kirgistan yang mayoritas Muslim, serta anggota kelompok etnis dan agama minoritas lainnya.

China membantah melakukan pelanggaran dan mengatakan telah mendirikan pusat pelatihan kejuruan di Xinjiang untuk mengatasi ekstremisme agama.

Untuk diketahui, Presiden Joe Biden telah berusaha meminta bantuan dari sekutu AS, untuk meminta pertanggungjawaban Beijing atas pelanggaran hak asasi manusia, serta apa yang dikatakan Gedung Putih sebagai kebijakan luar negeri dan perdagangan yang semakin memaksa.

Juru bicara Departemen Luar Negeri Ned Price mengatakan dalam jumpa pers reguler, Washington akan terus meminta pertanggungjawaban pihak berwenang Hong Kong atas erosi aturan hukum, mengenakan 'biaya dan sanksi' pada pejabat China yang bertanggung jawab atas pelanggaran hak asasi manusia, termasuk kerja paksa.

Dia mengatakan, risiko terhadap aturan hukum yang sebelumnya terbatas pada China daratan, kini semakin menjadi perhatian bagi Hong Kong, tetapi tidak menyebutkan secara spesifik tentang tindakan baru apa pun.