Kemenkes Harus Akui RS di Jakarta dan Sekitarnya Kolaps Tangani COVID-19
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Ombudsman Jakarta Raya tegas mengatakan bahwa situasi rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya dalam menangani pasien COVID-19 bukan sekadar penuh (over capacity), tapi juga tak terkendali. Hal ini harus diakui oleh Kementerian Kesehatan.

Pernyataan ini disampaikan Kepala Perwakilan Ombudsman Jakarta Raya Teguh Nugroho setelah lembaganya melakukan pemantauan terhadap pelayanan rumah sakit di Jakarta dari akhir Juni 2021 sampai dengan awal Juli 2021. 

“Situasi rumah sakit di Jakarta Raya bukan hanya over capacity, tapi over capacity yang tidak tertangani dan menyebabkan kolapsnya pelayanan penanganan kesehatan baik bagi pasien kritis COVID-19 maupun pasien kritis non-COVID,” ujar Teguh pada Kamis, 8 Juli.

Sejak tanggal 21 Juni 2021, Teguh mengaku Ombudsman terus menerima laporan dan konsultasi dari keluarga pasien COVID-19 kritis yang mengalami kesulitan untuk mendapatkan layanan ruang isolasi baik di Bogor, Bekasi, Depok dan Jakarta. 

Teguh menuturkan, BOR dan ICU di semua daerah sudah mencapai angka 90 persen, jauh di atas standar WHO 60 persen.

Sementara, antrean untuk masuk ruang IGD sebelum masuk ruang Isolasi dan ICU setiap minggu meningkat dari 10-15 antrean di akhir bulan Juni menjadi rata-rata 20-40 antrean di awal bulan Juli.

Hal itu terkonfirmasi lebih lanjut saat Ombudsman meminta keterangan tertulis  kepada beberapa Dinas Kesehatan di wilayah Jakarta Raya dan cross checking data di Siranap Wilayah Kabupaten dan Kota Bogor dengan pengecekan langsung. Hasilnya, data berbeda dengan kondisi sebebarnya.

"Pada aplikasi Siranap, walaupun masih ada rumah sakit yang memiliki tempat tidur di IGD tapi saat di cek data tersebut tidak valid. Tempat tidur IGD penuh dan diikuti dengan antrean panjang pasien," jelas Teguh.

Belum lagi, data kematian kasus COVID-19 terus meningkat. Misalnya, di Jakarta ada pertambahan 1.677 kasus kematian hanya dalam dua minggu. Lalu, makin banyaknya tenaga kesehatan yang ikut terpapar COVID-19.

“Angka tersebut fenomena puncak gunung es. Tingganyak pasien COVID-19 kritis yang tidak tertangani di rumah sakit dan pasien non-COVID yang juga tidak tertangani akibat penuhnya rumah sakit,” tutur Teguh.

Karenanya, Teguh meminta Kemenkes berkoordinasi dengan pemerintah daerah untuk segera mengakselarasi penambahan lokasi isolasi terpusat untuk pasien COVID-19 bergejala ringan dan sedang yang tak mampu untuk isolasi mandiri di rumah.

“Program tersebut harus segera diakselerasikan mengingat kebutuhan kamar dan nakes di beberapa wilayah sudah sangat tinggi karena dengan konversi tempat tidur 30-40 persen justru berpotensi mengurangi pelayanan pasien non-COVID yang jumlahnya juga tidak sedikit," pungkasnya.