Bagikan:

JAKARTA - Presiden Haiti Jovenel Moise ditembak mati oleh penyerang tak dikenal di kediaman pribadinya pada Rabu 7 Juli sekitar pukul 01.00 dinihari waktu setempat. Pemerintah Haiti menyebut penembakan tersebut sebagai 'tindakan barbar' dan dikhawatirkan menimbulkan gejolak dalam negeri.

Pembunuhan itu bertepatan dengan gelombang kekerasan geng di Port-au-Prince, ketika kelompok-kelompok bersenjata bertempur dengan polisi dan satu sama lain untuk menguasai jalan-jalan dalam beberapa bulan terakhir, mengubah banyak distrik di ibu kota menjadi zona terlarang.

Istri presiden berusia 53 tahun, Martine Moise, juga tertembak dalam serangan tersebut namun berhasil selamat sedang menerima perawatan medis, kata Perdana Menteri Sementara Claude Joseph dalam sebuah pernyataan.

"Sekelompok orang tak dikenal, beberapa dari mereka berbicara bahasa Spanyol, menyerang kediaman pribadi presiden republik dan dengan demikian melukai kepala negara," katanya mengutip Reuters Rabu 7 Juli. 

Joseph mengatakan, polisi dan tentara telah mengendalikan situasi keamanan meskipun tembakan dapat terdengar di seluruh ibu kota yang dilanda kejahatan berpenduduk 1 juta orang setelah serangan itu.

Haiti yang terpolarisasi secara politik dan menghadapi krisis kemanusiaan yang berkembang dan kekurangan makanan, menyebabkan timbulnya ketakutan akan kekacauan yang meluas menyebar di dalam negeri negara yang terletak di Kawasan Karibia tersebut.

Republik Dominika mengatakan akan menutup perbatasannya dengan Haiti di Pulau Hispaniola. Sementara, Kedutaan Besar Amerika Serikat mengatakan dalam sebuah pernyataan menyatakan akan ditutup pada Hari Rabu, karena situasi keamanan yang sedang berlangsung.

Mendiang Presiden Moise, pengekspor pisang yang menjadi politisi, menghadapi protes sengit setelah menjabat sebagai presiden pada 2017. Tahun ini, oposisi menuduhnya berusaha memasang kediktatoran dengan melampaui mandatnya dan menjadi lebih otoriter. Dia membantah tuduhan itu.

"Semua tindakan diambil untuk menjamin kelangsungan negara dan untuk melindungi bangsa," sanggah Joseph.

Untuk diketahui, mendiang Presiden Moise telah memerintah melalui dekrit selama lebih dari setahun, setelah negara itu gagal menyelenggarakan pemilihan legislatif dan ingin mendorong reformasi konstitusi yang kontroversial.