Bagikan:

JAKARTA - Insinyur di Institut Teknologi Massachusetts (mit) dan Universitas Harvard, Amerika Serikat (AS) telah merancang masker wajah inovatif yang dapat mendiagnosis jika pemakainya terinfeksi virus COVID-19 dalam waktu 90 menit.

Para peneliti telah mengembangkan teknologi biosensor yang dipakai memungkinkan masker mendeteksi virus melalui napas pemakainya. Masker tersebut disematkan dengan sensor kecil sekali pakai, yang dikenal sebagai Specific High-sensitivity Enzymatic Reporter unLOCKing atau SHERLOCK, yang juga dapat mendeteksi keberadaan virus dan infeksi lain, menurut makalah penelitian.

"Kami telah menunjukkan membekukan berbagai sensor biologi sintetis untuk mendeteksi asam nukleat virus atau bakteri, serta bahan kimia beracun, termasuk racun saraf," kata James Collins, profesor teknik medis dan sains di MIT Institute for Medical Teknik dan Sains, seperti mengutip The National Selasa 6 Juli. 

"Kami membayangkan platform ini dapat mengaktifkan biosensor generasi berikutnya yang dapat dipakai untuk responden pertama, personel perawatan kesehatan dan personel militer," tambahnya.

masker covid
Ilustrasi masker yang dikembangkan peneliti MIT dan Harvard. (Sumber: Wyss Institute at Harvard University)

Pengguna dapat mengaktifkan sensor masker wajah menggunakan tombol saat mereka siap melakukan pengujian. yang melepaskan air yang ditimbun di sekitar sensor. Setelah terhidrasi, mereka memeriksa tetesan napas pengguna dan memeriksa keberadaan COVID-19 dan virus lainnya.

Hasil dapat dicapai dalam waktu 90 menit pada tingkat akurasi yang sama dengan tes reaksi berantai polimerase (PCR). Untuk memastikan privasi data pengguna, hasil hanya ditampilkan di bagian belakang masker.

"Kami pada dasarnya telah menyederhanakan kerja laboratorium diagnostik, menjadi sensor kecil berbasis biologi sintetis yang bekerja dengan masker wajah apa pun. Menggabungkan akurasi tinggi tes PCR dengan kecepatan dan biaya rendah tes antigen," terang Peter Nguyen, seorang ilmuwan peneliti di Institut Wyss Universitas Harvard.

Sensor juga dapat disematkan ke pakaian normal seperti jas laboratorium, yang berpotensi menawarkan cara baru untuk memantau paparan petugas kesehatan terhadap berbagai jenis infeksi.

"Selain masker wajah, biosensor kami yang dapat diprogram dapat diintegrasikan ke dalam pakaian lain untuk memberikan deteksi saat bepergian zat berbahaya termasuk virus, bakteri, racun, dan bahan kimia," tambah Nguyen.

Sensor bekerja pada mekanisme ilmiah yang sebelumnya dikembangkan oleh tim peneliti, untuk digunakan dalam diagnosa kertas untuk virus seperti Ebola dan Zika. Seluruh proyek dilakukan di bawah karantina atau jarak sosial yang ketat, mulai Mei tahun lalu.

“Itu jelas berbeda dari infrastruktur lab yang biasa kami gunakan untuk bekerja, tetapi semua yang dilakukan telah membantu kami memastikan sensor akan bekerja dalam kondisi pandemi dunia nyata," jelas Luis Soenksen, juga dari Institut Wyss Universitas Harvard.