Bagikan:

JAKARTA - Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri menemukan fakta baru atas penyelidikan kasus tindak pidana perbudakan orang (TPPO) anak buah kapal (ABK) WNI yang bekerja di kapal milik China, Long Xing 629.

Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Brigjen Pol Ferdy Sambo menyebut ada tiga tersangka yang ditetapkan atas kasus ini. Tersangka yang ditetapkan dalam penyelidikan ini merupakan penanggung jawab agen penyalur para ABK. 

Mereka adalah William Gozaly dari PT Alfira Pratama Jaya, Kiagus Muhammad Firdaus dari PT Lakemba Perkasa Bahari, dan Joni Kasiyanto dari PT Sinar Muara Gemilang. Ketiganya ditangkap pada 16 Mei lalu.

"Tiga tersangka tersebut kita lakukan pemeriksaan dan kita lakukan penahanan dan sekarang sudah di Rutan Bareskrim Polri. Dari proses pemeriksaan tersebut, tergambarlah bagaimana 14 ABK ini menjadi korban tindak pidana perdagangan orang," kata Sambo saat dikonfirmasi, Kamis, 21 Mei. 

Berdasarkan hasil wawancara dengan 14 ABK yang masih hidup dan sudah pulang ke Indoesia, serta penelusuran dokumen terkait kasus ini, Bareskrim Polri menemukan fakta bahwa ada penawaran gaji ABK yang tidak sesuai dengan realita hingga tindakan perbudakan di dalam kapal. 

Perekrutan dengan iming-iming gaji besar

Para tersangka yakni William, Joni, dan Kiagus melakukan perekrutan terhadap calon ABK. Pekerja kapal ini diiming-imingi gaji 4.200 dolar AS selama 14 bulan (setara dengan Rp61 juta). 

Ternyata, gaji yang dijanjikan hanya bualan belaka. ABK yang direkrut Joni hanya menerima gaji sebesar 1.350 dolar (Rp19 juta) selama 14 bulan. Ada juga ABK yang tidak menerima gaji. 

ABK yang direkrut Kiagus Muhammad Firdaus dari PT Lakemba Perkasa Bahari juga menerima potongan gaji sebesar 3.550 dolar. Artinya, ABK hanya menerima 650 dolar (Rp9 juta) selama 14 bulan. 

Yang lebih parah, ABK yang direkrut William hingga kini tidak menerima upah kerja. Alasannya, para pekerja tidak menandatangani kontrak kerja. Dengan begitu, perusahaan yang dipegang William melimpahkan tanggung jawab gaji ke perusahaan di Busan.

Praktik perbudakan

Awalnya, pada 13 dan 14 Februari, 22 ABK berangkat dari Jakarta menuju Busan, Korea Selatan dan bekerja di kapal Long Xing 629.

Pada 29 September, dua ABK bernama Yudha dan Karman dipindahkan dari Long Xing 629 ke Long Xing 802 karena sakit dan menyisakan 20 orang. 2 ABK ini diantar ke Kepulauan Samoa, untuk dipulangkan ke Indonesia. Namun, sampai saat ini keberadaan dua lelaki itu belum diketahui. 

"Dari 20 orang, ada 4 yang sakit. Kemudian dipindahkan tiga orang ke Long Xing 802. Dua orang (di kapal itu) meninggal dunia, satu lainnya masih ada di kapal," ucap Sambo.

Karena ada perlakuan yang tidak sesuai, 16 ABK Long Xing 629 minta dipulangkan. Karena tak ada izin pengembalian, para ABK itu dipindahkan ke kapal Tian Yu untuk dipulangkan ke Indonesia pada 27 Maret 2020.  Dalam perjalanan, satu dari 16 ABK tewas pada 2 April. 

"Ini yang kemudian ramai (soal pelarungan jenazah dari atas kapal) di media sosial," kata Sambo. 

Pada 14 April, 15 ABK sisanya dikarantina. Satu orang bernama Efendi meninggal di Busan. Akhirnya, sisa 14 ABK yang berhasil tiba di Indonesia. 

Dari total masa kerja para ABK, ada empat orang yang tewas karena sakit. Tiga jenazah yakni Sepri, Alfatah, dan Ari dilarung ke lautan. Sementara, satu orang yakni Effendi meninggal di rumah sakit Busan. 

Sambo menjelaskan, ada beberapa praktik perbudakan yang dialami ABK ini. Mulai dari penipuan gaji, penempatan jam kerja yang tidak sesuai, membuat ABK dalam posisi kemampuan ekonomi yang sulit.

"Hal ini tujuannya untuk memanfaatkan tenaganya. Dari proses pemeriksaan, juga ada beberapa perlakuan terhadap ABK yang terungkap. Ada perlakuan 30 jam bekerja, kemudian beberapa kekerasan fisik yang dialami," jelas Sambo.

Ancaman pidana 15 tahun penjara

Atas kasus ini, ketiga tersangka dijerat Pasal 4 Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun, dan denda pidana paling sedikit Rp120 juta dan denda paling banyak Rp600 juta. 

Polisi bekerja sama dengan ahli untuk menerapkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 kepada korporasi. Pidana akan ditambah sepertiga, lalu dapat disanksi karena mencabut badan hukum perusahaan, merampas kekayaan hasil tindak pidana, pemecatan terhadap pengurus, serta larangan berkegiatan di bidang serupa.