Kekang Perbudakan Si Anak 'Budak' Kapal
Ilustrasi foto tali kapal (Public Domain Pictures/Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Publik dihebohkan dengan kabar meninggalnya tiga anak buah kapal (WNI) akibat mengalami penderitaan dalam bekerja. Mereka bekerja untuk kapal pencari ikan Long Xin 605, Long Xin 629 dan Tian Yu 8 milik Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Kisah ini mengangkat kembali wajah perbudakan di tengah laut. Nasib malang mereka, 'anak budak kapal' (ABK).

Berangkat dari kasus ini, Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo menganggap ada fakta bahwa kondisi pekerja migran Indonesia, terutama yang bekerja di sektor kelautan, berwajah muram. Wahyu bilang, kerentanan atas ekspoloitasi yang dialami pekerja migran bukanlah hal baru.

Global Slavery Index yang dikeluarkan Walk Free tahun 2014-2016 menempatkan pekerja migran di sektor kelautan dan perikanan --terutama sebagai ABK di kapal pencari ikan-- sebagai golongan pekerja yang paling rentan mengalami praktik perbudakan modern.

"Dalam pemeringkatan ini terhitung ada ratusan ribu ABK Indonesia di kapal-kapal penangkap ikan berada dalam perangkap perbudakan modern. Jika kondisi tersebut masih berlangsung sampai sekarang, maka situasi memang belum berubah dan ini tentu sangat menyedihkan," kata Wahyu kepada VOI, Kamis, 7 Mei.

Kasus ini tentu mengingatkan bahwa Indonesia pernah berkutat mengusut perbudakan di sektor kelautan, terutama pada zaman Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Saat itu, ada kasus perbudakan tenaga kerja dalam kapal pencari ikan di wilayah perairan Benjina, Kepulauan Aru, Provinsi Maluku. ABK kapal ini bekerja selama 20 hingga 22 jam per hari, disiksa, dan tak menerima upah.

Sayangnya, kata Wahyu, dalam mengusut kasus ini, pemerintah Indonesia belum berinisiatif memperluas penanganan pada nasib pekerja migran Indonesia sebagai ABK di kapal-kapal pencari ikan berbendera asing yang beroperasi melintas negara.

"Inisiatif ini pun tidak mendapat dukungan signifikan dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Kementerian Perhubungan atau Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia atau BP2MI," kata Wahyu.

Sementara, dalam kasus dugaan perbudakan yang dialami oleh ABK WNI di kapal China ini, Kementerian Luar Negeri tampak mengalami kesulitan dalam penanganan kasus terkait yurisdiksi perkara.

"Bisa dibayangkan jika kasus terjadi di kapal pencari ikan berbendera A, pemiliknya adalah warga negara B dan kasusnya terjadi di lautan dalam otoritas negara C atau di laut bebas. Namun, apapun situasinya, seharusnya negara hadir dalam memberikan perlindungan terhadap anak buah kapal Indonesia," ungkap Wahyu. 

Ilustrasi foto kapal penangkap ikan (Dendoktoor/Pixabay)

Wahyu menilai, respons Kementerian Luar Negeri bersifat normatif, belum menukik pada pokok persoalan, apakah sudah ada desakan bagi investigasi pelanggaran hak asasi manusia. Selain itu, Wahyu juga melihat belum ada pernyataan tegas untuk memastikan pemenuhan hak-hak ABK tersebut.

"Maka, Migrant CARE mendesak Kemenaker dan BP2MI untuk bersikap pro-aktif memanggil para agen pengerah ABK tersebut untuk meminta pertanggungjawaban korporasi dan apalagi ditemukan pelanggaran hukum harus diteruskan melalui mekanisme hukum yang berlaku," ujarnya.

Perjanjian kerja bermasalah

Wahyu mendorong Kementerian Ketenagakerjaan mengusut surat perjanjian kerja yang ditandatangani oleh ABK di kapal nelayan milik China tersebut. Sebab, isi surat dinilai melecehkan nilai kemanusiaan.

Dalam pemberitaan MBC, media Korea Selatan, para ABK memiliki punya surat pernyataan kerja yang ditandatangani dengan materi. Isinya, mereka akan menanggung segala risiko bila terjadi musibah hingga meninggal dunia. 

Dalam surat ini, ABK menyatakan keluarga masing-masing sudah mengetahui isi perjanjian. Oleh karenanya, jika terjadi musibah pada ABK, keluarganya tak boleh membawa masalah ini ke kepolisian atau hukum Indonesia. 

"Surat kontrak kerja ini dibuat di bawah paksaan. Padahal, semua kontrak kerja harus dibuat setara, tidak dalam paksaan, dan sesuai dengan standar kerja layak yang berlaku," tutur Wahyu. 

MBC juga memberitakan terdapat tiga WNI yang merupakan anak buah kapal (ABK) meninggal dunia di kapal Long Xin 629 dan Long Xin 604 milik China. Penyebab meninggalnya ABK di kapal nelayan milik China tersebut karena perbudakan. Para anak buah kapal asal Indonesia ini diduga diwajibkan bekerja yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia.

Kasus yang dilaporkan oleh stasiun televisi MBC ini ramai diketahui oleh masyarakat Indonesia, setelah seorang Youtuber bernama Jang Hansol yang fasih berbahasa Indonesia, dalam akun Korea Reomit, menjelaskan kronologi pemberitaan tersebut.

Setelah menonton tayangan berita MBC, Hansol menyatakan ada eksploitasi kepada pekerja termasuk ABK WNI tersebut. Mereka, kata Hansol, diwajibkan bekerja selama 18 jam per hari. Kemudian, mereka hanya mendapat 6 jam untuk istirahat sekaligus jam untuk makan. Selama berada di dalam kapal, para ABK tak mendapatkan air minum yang layak. Mereka hanya dapat meminum air laut yang difiltrasi.

Paspor para ABK disita, sehingga tidak bisa melarikan diri. Tak hanya itu, ABK yang bekerja di laut selama 13 bulan ini hanya menerima gaji 140.000 won atau sekitar Rp1,7 juta. Akibatnya, tiga nyawa ABK melayang karena terserang penyakit dalam kapal di tengah lautan tersebut. Mereka adalah Ari (24 tahun), Al Fatah (19 tahun), dan Sepri (24 tahun). Jenazah ketiga ABK ini tak dibawa menuju daratan, melainkan dilarung ke lautan lepas. 

Mayat ABK dimasukkan dalam kantong, kemudian para awak kapal lain melakukan kegiatan mirip seperti upacara pemakaman, lalu jenazah digotong dan dilarung ke tengah laut. Hal ini terekam dalam video yang ditayangkan MBC dengan keterangan video diambil pada 30 Maret 2020 di Samudera Pasifik bagian barat.