Bagikan:

JAKARTA - Peristiwa pembantaian pada kapal budak, Zong, adalah kejadian yang menewaskan sedikitnya 130 budak (ada juga yang bilang 142 orang) pada 1781. Mereka sengaja diceburkan ke laut dengan alasan "keselematan". Namun hukum kerajaan Inggris saat itu seolah melazimkan perbuatan tersebut, mereka bahkan lebih mempersoalkan untung-rugi dari peristiwa tersebut. 

Zong merupakan salah satu kapal pelayaran paling kejam yang pernah ada. Pemilik kapal ini adalah seorang sindikat pedagang Liverpool, William Gregson. Selain pedagang budak, ia juga pernah menjadi Wali Kota Liverpool pada 1762.

Gregson sudah mengangkut budak antara 1747 dan 1780-an. Namun yang kejam bukan cuma oknum pedagang budaknya. Melainkan hukumnya itu sendiri, yang bisa dibilang melazimkan praktek bisnis jual beli budak. 

Semua bermula saat Zong meninggalkan Afrika Barat pada 1781. Mereka membawa 442 budak dari Afrika untuk dijual di perkebunan kolonial di Jamaika. 

Kapal Zong memang biasanya padat. Tapi saat itu rupanya muatan lebih banyak lagi, mereka mengangkut dua kali lipat jumlah orang yang biasa diangkut. 

Ada dua versi alasan mengapa pembunuhan 133 budak yang dibuang ke laut bisa terjadi. Pertama karena daya angkut melebihi kapasitas, sehingga menyebabkan kekurangan pasokan air, lalu yang kedua karena wabah penyakit. 

Legalisasi perbudakan

Pengadilan atas kasus Pembantaian Zong pun digelar. Mulanya alasan pihak Zong membuang budak ke laut  untuk menyelamatkan ABK dari kekuarangan stok air sempat diterima oleh hukum. Tindakan itu dianggap lazim oleh Pengadilan London. 

Ketua Pengadilannya pada hari ini 22 Juni abad 18 atau pada 1783, menyatakan bahwa pembantaian budak Afrika "sama seperti jika kuda telah dilemparkan ke atas kapal," katanya dikutip History. Persidangan itu bukan mencecar siapa yang melakukan pembantaian melainkan melah mempertanyakan apakah budak itu diasuransikan atau tidak.

Menurut Jeremy Krikler dalam "A Chain of Murder in the Slave Trade: A Wider Context of the Zong Massacre" (2012), dalih pihak Zong yang menyatakan pembuangan budak ke laut demi menyelamatkan awak kapal yang lain, membuat klaim asuransi mereka cair. Jadi, bukan hukuman yang mereka dapat setelah membunuh, melainkan uang asuransi. 

Tak puas dengan putusan itu, para penentang perdagangan budak menelusuri kasus tersebut lebih dalam. Hingga mereka menemukan fakta bahwa beberapa pembunuhan terjadi setelah hujan. Itu artinya pasokan air dapat ditampung kembali dan mereka sebenarnya tidak kekurangan pasokan air. 

Krikler meyakini peristiwa pembantaian ini tak lain berkaitan dengan masalah untung rugi. Semua kekejian itu dilakukan tak lain semata-mata hanya karena uang. "Hal tersebut telah menjadi perhitungan untung rugi ketika dia memilih orang untuk dibuang ke laut, (mereka) berpikir bahwa asuransi dapat diklaim pada mereka yang terbunuh," katanya.