JAKARTA - Kasus meninggalnya anak buah kapal (ABK) Indonesia di kapal Long Xin 629, mengharuskan pemerintah mengusut dugaan penerapan sistem kerja budak dalam kapal itu. Tercatat ada empat ABK yang meninggal dunia dalam kapal milik China tersebut.
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo memandang, dalam kasus ini menunjukkan ada indikasi tindak pidana perdagangan orang atau perbudakan. Sebab, ada perjanjian kerja yang dinilai tak manusiawi dan mengekang para ABK.
Hal ini berangkat dari adanya kemiripan sejumlah kasus-kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Khususnya pada sektor kelautan dan perikanan yang ditangani LPSK, di antaranya kapal milik Jepang, Somalia, Korea Selatan, dan Belanda.
"Biasanya, korban mengalami penipuan dalam proses rekrutmen, seperti pemalsuan identitas, jam kerja yang melebihi aturan, tindakan kekerasan dan penganiayaan, penyekapan, gaji yang tidak layak, hingga ancaman pembunuhan," kata Hasto dalam keterangan tertulis, Kamis, 7 Mei.
Kini, pemerintah telah bergerak menyelidiki dugaan perbudakan ABK kapal Long Xin 629. Tapi, ternyata penyelidikan perjanjian kerja dan perkara yang terjadi tidaklah mudah.
BACA JUGA:
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi menyebut, langkah awal yang dilakukan pemerintah adalah meminta agar otoritas Republik Rakyat Tiongkok (RRT) turut menyelidiki kapal yang terlibat, kondisi pekerjaan, dan perlakukan kerja di kapal.
Sebab, kata dia, Kemlu tak bisa melakukan penyelidikan sendiri. Ini karena wilayah yuridis perkara cukup rumit. Maksudnya, ABK yang meninggal merupakan WNI, mereka bekerja di kapal nelayan berbendera China, dan kejadian yang menimpa ABK hingga meninggal dunia berada di perairan Samudera Pasifik.
"Pada saat masuk hulu, maka sudah menjadi kewenangan otoritas lain selain Kemlu. Oleh karenanya, kami akan berkoordinasi dengan instansi lain yang bertanggung jawab di hulu untuk memperkuat perlindungan terhadap ABK yang bekerja di kapal ikan longline," kata Retno kepada wartawan.
Penyelesaian kasus ABK di kapal China bukan cuma tanggung jawab Kemenlu. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) turut bertanggung jawab. Sebab, Kemnaker berperan memberikan izin pengoperasian Manning Agency, yakni agensi penyalur tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.
Kemnaker harus mengusut perjanjian kerja ABK yang dinilai bermasalah. Dalam laporan kantor berita asal Korea Selatan, MBC News, para ABK memiliki punya surat pernyataan kerja yang ditandatangani dengan materi. Isinya, mereka akan menanggung segala risiko bila terjadi musibah hingga meninggal dunia.
Dalam surat ini, ABK menyatakan keluarga masing-masing sudah mengetahui isi perjanjian. Oleh karenanya, jika terjadi musibah pada ABK, keluarganya tak boleh membawa masalah ini ke kepolisian atau hukum Indonesia.
Sementara Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyatakan, pihaknya sedang melakukan penelusuran terhadap perusahaan penempatan tersebut. Hal ini guna memastikan apakah prosedur penempatan dan pemenuhan hak-hak ABK sudah sesuai, serta apakah isi PKL dan dokumen penempatan lainnya sudah menaati aturan atau tidak.
"Apabila ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan penempatan pekerja migran Indonesia yang ke (P3MI), maka kami tidak akan ragu untuk menindak tegas perusahaan tersebut sesuai dengan aturan penerapan sanksi," jelas Ida saat dihubungi terpisah.
Namun, Kemnaker juga tak memegang wewenang penuh terhadap perizinan penempatan bagi perusahaan penyalur ABK selama ini. Jadi, kata Ida, Kemnaker tak bisa bekerja sendiri dalam mengusut kasus dan membutuhkan bantuan dari Kementerian Perhubungan serta Kementerian Kelautan dan Perikanan.
"Izin perusahaan seperti surat penempatan pekerja migran tidak sepenuhnya berada di Kemnaker. Mengingat, Kementerian Perhubungan juga mengeluarkan SIUPPAK atau Surat Izin Usaha Perekrutan dan Penempatan Awak Kapal," ungkap Ida.
Sebagai informasi, media asal Korea Selatan MBC News memberitakan terdapat tiga WNI yang merupakan anak buah kapal (ABK) meninggal dunia di kapal Long Xin 629 dan dan Xian Yu 8 milik China.
Penyebab meninggalnya ABK di kapal nelayan milik China tersebut karena perbudakan. Para anak buah kapal asal Indonesia ini diduga diwajibkan bekerja yang tidak sesuai dengan hak asasi manusia.
Kasus yang dilaporkan oleh stasiun televisi MBC ini ramai diketahui oleh masyarakat Indonesia, setelah seorang Youtuber bernama Jang Hansol yang fasih berbahasa Indonesia, dalam akun Korea Reomit, menjelaskan kronologi pemberitaan tersebut.
Setelah menonton tayangan berita MBC, Hansol menyatakan ada eksploitasi kepada pekerja termasuk ABK WNI tersebut. Mereka, kata Hansol, diwajibkan bekerja selama 18 jam per hari.
Kemudian, mereka hanya mendapat 6 jam untuk istirahat sekaligus jam untuk makan. Selama berada di dalam kapal, para ABK tak mendapatkan air minum yang layak. Mereka hanya dapat meminum air laut yang difiltrasi.
Paspor para ABK disita, sehingga tidak bisa melarikan diri. Tak hanya itu, ABK yang bekerja di laut selama 13 bulan ini hanya menerima gaji 140.000 won atau sekitar Rp1,7 juta.
Akibatnya, tiga nyawa ABK melayang karena terserang penyakit dalam kapal di tengah lautan tersebut. Mereka adalah Ari (24 tahun), Al Fatah (19 tahun), dan Sepri (24 tahun). Jenazah ketiga ABK ini tak dibawa menuju daratan. Mereka dimasukkan dalam kantong, kemudian para awak kapal lain melakukan kegiatan mirip seperti upacara pemakaman, lalu jenazah digotong dan dilarung ke tengah laut.