JAKARTA - Sebuah video viral menggambarkan buruknya situasi kerja anak buah kapal (ABK) WNI di kapal penangkapan berbendera China. Masalah klasik itu seolah tak pernah usai. Tahun lalu sekelompok pemuda WNI menjadi budak di kapal ikan milik China. Mereka dipaksa bekerja 18 jam, ditambah dengan siksaan fisik maupun mental selama sembilan bulan.
Kabar adanya dugaan eksploitasi ABK WNI di kapal ikan China, Long Xing pertama kali diberitakan stasiun televisi Korea Selatan, MBC News. Video itu menjelaskan bahwa para WNI harus bekerja hingga 18 jam satu hari dengan istirahat minim.
Belum lagi para WNI juga mendapat diskriminasi seperti diberi minum air laut yang difiltrasi. Sedangkan awak yang berasal dari China diberi air mineral yang mereka bawa. MBC kebetulan mendapat kabar tersebut karena kapal itu sedang mampir ke Busan Korea Selatan. WNI mengadukan kasus ini kepada pemerintah Korsel dan meminta MBC menerbitkan kasus ini.
Video pelarungan jenazah itu terhadi pada 30 Maret lalu. Pekerja itu bernama Ari (24). Ia telah bekerja lebih dari satu tahun dan akhirnya meninggal di kapal tersebut. Ari sudah satu bulan sakit sebelum meninggal. Mulanya kakinya bengkak sebelum ia akhirnya dinyatakan tewas.
Ironinya, lima orang di antara para ABK WNI yang diketahui hanya dibayar 120 dolar AS atau sekitar Rp1,7 juta selama bekerja 13 bulan. Artinya gaji bulanan mereka itu hanya Rp100 ribu.
Kemlu RI Prihatin
Dikutip Kompas, Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI menyatakan sudah memberi perhatian serius lewat perwakilan yang berada di Korea Selatan, China dan Selandia Baru atas masalah yang dihadapi ABK INdonesia di kapal ikan China, Long Xin 605 dan Tian Yu 8. Kemlu membenarkan beberapa hari lalu kedua kapal itu memang berlabuh di Busan, Korsel. Keduanya membawa 46 ABK WNI dan 15 di antaranya berasal dari Kapal Long Xin 629.
Kemlu bilang setidaknya ada tiga ABK WNI yang tewas pada Desember 2019 dan Maret 2020. Kejadiannya ketika kapal-kapal itu sedang berlayar di Samudera Pasifik. Selain ketiga WNI tersebut, satu ABK WNI lain diketahui meninggal dunia di rumah sakit Busan karena penumonia.
KBRI Seoul sedang berupaya memulangkan satu jenasah yang meninggal itu. Selain itu mereka juga telah memulangkan 11 awak kapal pada 24 April 2020. Sementara 14 awak kapal lainnya akan dipulangkan pada 8 Mei 2020. Sementara itu 20 awak kapal lainnya melanjutkan bekerja di kapal Long Xin 605 dan Tian Yu 8.
"Neraka" di laut
Industri perikanan global memang sudah terkenal "ganas". Mengutip Straits Time, di industri tersebut penuh dengan kerja paksa kalau tidak bisa dibilang perbudakan. Para ahli anti perdagangan manusia bilang tidak banyak orang tahu tahu berapa sebenarnya ongkos pembuatan dari makanan laut yang dibeli di toko-toko dan restoran.
Para buruh laut itu mengalami kerja paksa, beberapa tidak dibayar, kekerasan, bahkan kematian. Indonesia dan Asia Tenggara merupakan sumber utama tenaga kerja semacam itu. Sementara para pebisnis yang tak bermoral menyasar orang miskin yang tidak berpendidikan untuk dipekerjakan dengan upah semaunya.
Salah seorang WNI yang pernah mengalami "perbudakan" tersebut bernama Rahmatullah. Kejadiannya tahun lalu, ia diiming-imingi gaji 400 dolar AS perbulan ditambah bonus per ton apabila mau bekerja berlayar ke perairan Peru.
Namun Rahmatullah diduga ditipu oleh agen perekrutan Indonesia sendiri. Ia dibawa ke Somalia, tempatnya menghabiskan waktu sembilan bulan seperti di neraka. Di atas kapal penangkap ikan China dirinya bekerja 18 jam sehari.
"Saya merasa seperti budak," kata pria berusia 24 tahun itu kepada AFP. "ABK Tiongkok minum air bersih sementara kami harus mengambil air dari pendingin ruangan (AC). Selain itu kami sering dipukuli saat tangkapan kami kurang, bahkan jika kami sakit," beber Rahmatullah.
Rahmatullah adalah satu dari 40 WNI yang menuntut ganti rugi setelah diduga ditipu oleh janji palsu para perekrut. Dalam wawancaranya dengan AFP mereka menceritakan kekerasan fisik maupun psikologis, kelaparan, dan dehidrasi yang mereka alami. Akibat kekejaman itu Rahmatullah menyaksikan dua anggota kru meninggal tak kuasa menahan siksaan.
Mereka mengaku hanya bisa pasrah pada keadaan itu. "Kami tidak bisa melawan, saya dari desa dan tidak tahu apa-apa," kata Rahmatullah yang memang belum pernah bekerja di tempat seperti itu.
Para pemuda itu berhasil diselamatkan setelah mengirim pesan SOS lewat internet seluler. Mereka punya piutang ribuan dolar dari upah yang belum dibayarkan.
Pemerintah tak tegas
LSM yang mengadvokasi hak-hak pekerja, Migrant CARE menyatakan peristiwa yang menimpa ABK WNI itu merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Mereka terenggut kebebasannya, bekerja dalam kondisi tidak layak, tidak mendapatkan hak atas informasi, bahkan kehilangan hak paling dasar yakni hak untuk hidup.
Sementara itu Migrant CARE mengeritik respons Kemlu RI masih bersifat normatif belum fokus pada pokok persoalan. Terutama tentang perlunya desakan untuk diadakan investigasi pelanggaran HAM serta pernyataan tegas untuk memastikan pemenuhan hak-hak para ABK WNI tersebut.
"Migrant CARE mendesak Kementerian Ketenagakerjaan dan Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia untuk bersikap pro-aktif... meminta pertanggungjawaban korporasi. Apalagi ditemukan pelanggaran hukum harus diteruskan melalui mekanisme hukum yang berlaku," kata Direktur Eksekutif Migrant CARE Wahyu Susilo yang dikutip Kompas.