Bagikan:

JAKARTA - Wacana masa jabatan presiden 3 periode kembali panas setelah Direktur Eksekutif Indo Barometer, Muhammad Qodari menggagas pembentukan Komunitas 'Jokowi-Prabowo (JokPro) untuk 2024' guna mendorong Presiden Joko Widodo maju kembali sebagai calon presiden. 

Relawan JokPro mendukung Jokowi nyapres di 2024 didampingi Prabowo Subianto sebagai calon wakil presiden.

Lantas, dari mana asal wacana 3 presiden ini muncul?

Pengamat politik dari Surveylink Indonesia (Sulindo) Wempi Hadir, menilai ada kelompok tertentu yang mencoba mendesain gerakan mendukung perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode secara sadar. Lalu kemudian mencoba untuk melakukan testing on the water. 

"Mereka mencoba melihat bagaimana reaksi atas gerakan tersebut. Sangat jelas kalau membaca teori sebab akibat bisa ditelisik lebih jauh siapa yang dapat keuntungan dari situasi ini," ujar Wempi dalam diskusi Syndicate Election Update bertajuk 'Wacana Presiden 3 Periode: Dari Mana Asalnya, ke Mana Arahnya?' yang dipantau VOI secara daring, Rabu, 23 Juni.

Menariknya, kata Wempi, dalam tempo yang singkat ada dua gerakan yang muncul bersamaan. Yakni Komunitas Jokowi-Prabowo (JokPro) di Jakarta dan Komite Referendum masa jabatan presiden di Nusa Tenggara Timur (NTT). 

"Itu hampir sama temanya, bicara yang pertama mendorong 3 periode masa jabatan presiden, kedua mencoba untuk mengamandemen Pasal 7 UUD 1945," jelasnya.

"Oleh karena itu, kalau bicara soal teori sebab akibat maka saya kira orang yang akan hilang kekuasaan, ekonomi, politik sosial, hilangnya jabatan Jokowi pada 2024 saya kira orang-orang ini bertanggung jawab terhadap gerakan politik hari ini," sambung Wempi.

Kedua, lanjutnya, kelompok parpol hari ini tidak berani untuk menyatakan sikap secara jernih bahkan kelihatan sangat abu-abu. Misalnya Partai, NasDem, bahkan ketua umumnya, Surya Paloh tak memberi statement tegas untuk menolak jabatan 3 periode presiden. 

"Ini menunjukkan, bahwa memang Jokowi yang mempunyai power politik. Kita tahu bahwa hari ini Jokowi mempunyai kekuatan politik 74,26 persen di koalisi pemerintahan hari ini," terangnya.

"Kekuatan ini sangat absolut. Karena lebih dari 70 persen kekuatan politik dimiliki oleh Jokowi. Dengan demikian segala sesuatu bisa terjadi, perubahan UU bisa sangat terjadi karena kekuatan begitu memadai, persoalannya Jokowi mau atau tidak," kata Wempi menambahkan.

Itulah, menurut Wempi, mengapa gerakan tersebut mencoba untuk mendorong Jokowi menjadi presiden 3 periode. Sebab, mereka menyadari betul bahwa kekuatan politik yang dimiliki presiden dua periode itu sangat luar biasa. 

Ketiga, kata Wempi, mereka melihat Jokowi ini belum firm mengatakan bahwa ia tidak akan maju.

Dalam peristiwa politik, Wempi mencontohkan, bagaimana Jokowi mengatakan bahwa anaknya tidak akan terlibat dalam politik. Sebelum Gibran masuk dalam kontestasi Pilkada Solo.

Pada saat yang bersamaan, Jokowi tergoda oleh rayuan maut orang-orang terdekatnya untuk mendorong Gibran masuk kontestasi wali kota Solo dan semuanya terjadi. 

"Saya khawatir Jokowi tidak kuat dengan rayuan dan godaan yang dibuat oleh invisible government. Nah invisible government ini bukan parpol, tapi orang-orang yang mengendalikan kekuasaan dalam istana. Mereka punya saham politik yang menjadikan Jokowi sebagai presiden," bebernya.

Dan hari ini, sambung Wempi, orang-orang pemilik saham politik tersebut melihat bahwa "Kue Kekuasaan" ini tidak boleh hilang dari mereka selama 10 tahun hingga 2024.

Karenanya, menurut Wempi, mereka mendesain agar terjadi hegemoni atau kelanggengan kekuasaan. 

"Dan dampak dari kekuasan ada 3 hal. Pertama, akumulasi kekuasaan atau harta. Kedua, soal kekuatan politik. Ketiga adalah soal sosial, ada kenaikan sosial bagi orang-orang sekitar Jokowi," tuturnya.

Apabila Jokowi tidak berhati-hati, tambah Wempi, maka Jokowi akan terjebak skenario melanggar UU demi memperpanjang waktu kekuasaan pihak-pihak yang berkepentingan tersebut. Jokowi, kata dia, akan mencetak sejarah kelam bagi demokrasi Indonesia.

"Nah, hal seperti inilah yang kita bisa lihat orang bermain dengan berbagai cara merubah UU, menabrak demokrasi dan paling penting adalah skenario menjebak Jokowi dan mencetak sejarah kelam untuk bangsa ini kalau Jokowi tidak hati-hati," kata Wempi menandaskan.

Post Power Syndrome

Sementara, Ketua Formappi Lucius Karus menilai wacana masa jabatan presiden 3 periode didorong oleh ketakutan lingkaran penguasa akan kehilangan kekuasaannya usai presiden saat ini lengser alias post power syndrome. 

"Orang-orang yang sudah menikmati kekuasaan takut kehilangan kekuasaan," ujar Lucius dalam diskusi Syndicate Election Update bertajuk "Wacana Presiden 3 Periode Darimana Asalnya, ke Mana Arahnya" secara virtual, Rabu, 23 Juni.

Dia menjelaskan, bahwa wacana 3 periode presiden bukan saja di era Jokowi tetapi di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga pernah terjadi. Bahkan, wacana ini sudah muncul persis sebelum Jokowi dilantik pada Oktober 2019 lalu.

"Saya kira dorongan untuk amandemen konstitusi itu selalu muncul di periode kedua pemerintahan, baik di era SBY maupun Jokowi. Pasti didorong rasa takut yang mendera oleh parpol pendukung, yang merasa bahwa setelah 5 tahun periode kekuasan itu menghilang," jelasnya 

"Jadi, ini sesuatu yang natural bahwa kekuasaan itu nikmat dan hampir pasti orang yang sudah menikmati kekuasaan selalu punya keinginan untuk memperpanjang," sambung Lucius.

Menurutnya, tidak terlalu mengherankan wacana masa jabatan 3 periode ini muncul. Yang justru bikin heran, kata Lucius, adalah wacana ini muncul dengan sangat liar akhir-akhir ini di ruang publik tanpa ada pernyataan resmi dari parpol, DPR, MPR, dan DPD RI.

"Ini yang menarik, lalu menjadi sulit untuk menunjuk hidung siapa yang paling bertanggungjawab atas wacana ini. Kelompok kepentingan mana yang bisa kita tunjuk sebagai kelompok yang punya kepentingan dengan wacana ini?," katanya. 

Hal ini, lanjutnya, menjadi alasan kenapa di periode kedua Jokowi, wacana perubahan masa jabatan ini nampak diperbincangkan lebih panjang ketimbang era SBY pada 2010 lalu.

"Satu-satunya, karena MPR membuka ruang untuk itu. Sampai sekarang mereka tidak menutup kran mengamandemen konstitusi untuk mengembalikan GBHN dalam konstitusi kita," ucapnya.

Pada saat yang sama, kata Lucius, banyak kelompok punya kepentingan untuk memastikan isu-isu yang mereka dorong ikut diamandemen bersamaan keinginan MPR mengamandemen konstitusi untuk mengembalikan GBHN.

"Jadi saya kira pikiran nakal di banyak tokoh yang muncul belakangan ini, itu dipelihara oleh MPR yang hingga saat ini belum jelas (sikapnya, red) untuk mengamandemen konstitusi mengembalikan GBHN," bebernya.

Lucius menduga tidak hanya orang per orang berpikir memperpanjang masa jabatan presiden, tetapi ada banyak kelompok dengan kepentingan masing-masing yang punya agenda terkait dengan amandemen konstitusi. 

Misalnya, DPD RI untuk memperkuat kewenangannya. Kemudian ada juga kelompok yang menginginkan presiden dipilih oleh MPR. 

"Saya kira wacana-wacana ini di awal tahun 2020 atau akhir 2019 sempat ramai dibicarakan dan sampai sekarang DPR/MPR tidak pernah mengeluarkan pernyataan resmi bahwa mereka menarik agenda mengembalikan GBHN dalam konstitusi kita," ungkapnya.

Selagi wacana itu belum ditarik ruang atau peluang bagi kelompok-kelompok kepentingan masing-masing untuk melakukan perubahan dalam konstitusi, dikatakan Lucius, pihak-pihak nakal itu seolah mendapatkan angin menunggu waktu kapan mengamandemen untuk mengembalikan GBHN. 

Pada saat yang sama, tambahnya, kelompok ini akan muncul termasuk yang paling liar adalah wacana memperpanjang periode masa jabatan presiden.

"Dan ketika ini muncul liar ditengah ruang publik tanpa ada partai politik yang mengklaim, saya kira bisa dimaknai sebagai umpan. Kita tidak tahu pasti apakah di DPR atau MPR pembicaraan terkait perubahan konstitusi terkait masa jabatan ini dibicarakan," katanya.

Pengakuan di akhir tahun 2019 dari PKS misalnya, bahwa ada pembicaraan terkait masa jabatan presiden dalam wacana mereka mengamandemen amanat konstitusi. "Saya kira sulit untuk kemudian percaya bahwa tidak ada parpol yang mengatakan rencana masa jabatan ini," kata Lucius.

Lucius mengatakan, parpol pasti akan diuntungkan dengan wacana perpanjangan masa jabatan presiden, di mana sudah jelas urusan presiden adalah urusan parpol. Hanya mereka yang boleh mencalonkan presiden hingga pasti perpanjangan masa jabatan ini akan dinikmati parpol.

"Hanya sekarang bermain langsung memunculkan wacana ini tentu beresiko apalagi nanti tidak jadi itu akan jadi bumerang bagi parpol," tandas Lucius Karus.