Bagikan:

JAKARTA - Pengamat politik dari Surveylink Indonesia (Sulindo) Wempi Hadir, menilai ada kelompok tertentu yang mencoba mendesain gerakan mendukung perpanjangan masa jabatan presiden 3 periode secara sadar. Lalu mencoba untuk melakukan testing on the water

"Mereka mencoba melihat bagaimana reaksi atas gerakan tersebut. Sangat jelas kalau membaca teori sebab akibat bisa ditelisik lebih jauh siapa yang dapat keuntungan dari situasi ini," ujar Wempi dalam diskusi Syndicate Election Update bertajuk 'Wacana Presiden 3 Periode: Dari Mana Asalnya, ke Mana Arahnya?' yang dipantau VOI secara daring, Rabu, 23 Juni.

Menariknya, kata Wempi, dalam tempo yang singkat ada dua gerakan yang muncul bersamaan. Yakni Komunitas Jokowi-Prabowo (JokPro) di Jakarta dan Komite Referendum masa jabatan presiden di Nusa Tenggara Timur (NTT). 

"Itu hampir sama temanya, bicara yang pertama mendorong 3 periode masa jabatan presiden, kedua mencoba untuk mengamandemen Pasal 7 UUD 1945," jelasnya.

"Oleh karena itu, kalau bicara soal teori sebab akibat maka saya kira orang yang akan hilang kekuasaan, ekonomi, politik sosial, hilangnya jabatan Jokowi pada 2024 saya kira orang-orang ini bertanggung jawab terhadap gerakan politik hari ini," sambung Wempi.

Kedua, lanjutnya, kelompok parpol hari ini tidak berani untuk menyatakan sikap secara jernih bahkan kelihatan sangat abu-abu. Misalnya Partai, Nasdem, bahkan ketua umumnya, Surya Paloh tak memberi statement tegas untuk menolak jabatan 3 periode presiden. 

"Ini menunjukkan, bahwa memang Jokowi yang mempunyai power politik. Kita tahu bahwa hari ini Jokowi mempunyai kekuatan politik 74,26 persen di koalisi pemerintahan hari ini," terangnya.

"Kekuatan ini sangat absolut. Karena lebih dari 70 persen kekuatan politik dimiliki oleh Jokowi. Dengan demikian segala sesuatu bisa terjadi, perubahan UU bisa sangat terjadi karena kekuatan begitu memadai, persoalannya Jokowi mau atau tidak," kata Wempi menambahkan.

Itulah, menurut Wempi, mengapa gerakan tersebut mencoba untuk mendorong Jokowi menjadi presiden 3 periode. Sebab, mereka menyadari betul bahwa kekuatan politik yang dimiliki presiden dua periode itu sangat luar biasa. 

Ketiga, kata Wempi, mereka melihat Jokowi ini belum firm mengatakan bahwa ia tidak akan maju.

Dalam peristiwa politik, Wempi mencontohkan, bagaimana Jokowi mengatakan bahwa anaknya tidak akan terlibat dalam politik. Sebelum Gibran masuk dalam kontestasi Pilkada Solo.

Pada saat yang bersamaan, Jokowi tergoda oleh rayuan maut orang-orang terdekatnya untuk mendorong Gibran masuk kontestasi wali kota Solo dan semuanya terjadi.  

"Saya khawatir Jokowi tidak kuat dengan rayuan dan godaan yang dibuat oleh invisible government. Nah invisible government ini bukan parpol, tapi orang-orang yang mengendalikan kekuasaan dalam istana. Mereka punya saham politik yang menjadikan Jokowi sebagai presiden," bebernya. 

Dan hari ini, sambung Wempi, orang-orang pemilik saham politik tersebut melihat bahwa "Kue Kekuasaan" ini tidak boleh hilang dari mereka selama 10 tahun hingga 2024. 

Karenanya, menurut Wempi, mereka mendesain agar terjadi hegemoni atau  kelanggengan kekuasaan.  

"Dan dampak dari kekuasan ada 3 hal. Pertama, akumulasi kekuasaan atau harta. Kedua, soal kekuatan politik. Ketiga adalah soal sosial, ada kenaikan sosial bagi orang-orang sekitar Jokowi," tuturnya. 

Apabila Jokowi tidak berhati-hati, tambah Wempi, maka Jokowi akan terjebak skenario melanggar UU demi memperpanjang waktu kekuasaan pihak-pihak yang berkepentingan tersebut. Jokowi, kata dia, akan mencetak sejarah kelam bagi demokrasi Indonesia. 

"Nah, hal seperti inilah yang kita bisa lihat orang bermain dengan berbagai cara merubah UU, menabrak demokrasi dan paling penting adalah skenario menjebak Jokowi dan mencetak sejarah kelam untuk bangsa ini kalau Jokowi tidak hati-hati," kata Wempi menandaskan.