Ketua Dewan HAM PBB Sebut Rezim Militer Myanmar Harus Dimintai Pertanggungjawaban
Ilustrasi tentara Myanmar membidikan senjata. (Twitter/@yoonmay111)

Bagikan:

JAKARTA - Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Hak Asasi Manusia (HAM) memperingatkan pada Hari Jumat tentan intensitas kekerasan serta mengutuk penggunaan senjata berat yang keterlaluan oleh rezim militer Myanmar. 

Untuk itu, Ketua Dewan HAM Michelle Bachelet mendesak upaya diplomatik yang lebih luas untuk menekan para jenderal Myanmar. Ia menilai, rezim militer tidak menunjukkan kesediaan untuk menerapkan lima poin konsensus yang disepakati bersama ASEAN. 

Bachelet, yang permintaannya untuk mengunjungi Myanmar pada Bulan April ditolak, mengatakan ada laporan yang dapat dipercaya bahwa di Negara Bagian Kayah, warga sipil digunakan sebagai tameng manusia.

Tak hanya itu, tentara menembaki rumah dan gereja, yang telah memaksa lebih dari 108.000 orang mengungsi, dengan sedikit makanan, air atau sanitasi, dan akses kemanusiaan diblokir, sambung Bachelet.

"Tampaknya tidak ada upaya ke arah de-eskalasi, melainkan peningkatan pasukan di daerah-daerah utama, bertentangan dengan komitmen yang dibuat militer kepada ASEAN untuk menghentikan kekerasan," kata Bachelet dalam sebuah pernyataan, seperti melansir Reuters Jumat 11 Juni. 

Bachelet mendorong intensifikasi diplomasi, termasuk dari negara-negara berpengaruh, dan mengatakan dialog sangat dibutuhkan dengan semua pemangku kepentingan politik, termasuk pemerintahan bayangan yang terdiri dari penentang kekuasaan rezim militer.

Dua utusan ASEAN mengunjungi Myanmar pekan lalu dan bertemu dengan pejabat tinggi junta, termasuk pemimpin rezim militer Myanmar Jenderal Senior Min Aung Hlaing, sebuah perjalanan yang dikritik oleh kelompok-kelompok pro-demokrasi, yang mengatakan mereka dilarang masuk.

"Masyarakat internasional perlu bersatu dalam tuntutannya, agar Tatmadaw menghentikan penggunaan artileri berat yang keterlaluan terhadap warga sipil dan objek sipil," kata Bachelet.

"Kepemimpinan militer bertanggung jawab penuh atas krisis ini, dan harus dimintai pertanggungjawaban," tegasnya.

Dia juga mengatakan pasukan sipil yang baru dibentuk, yang dikenal sebagai Pasukan Pertahanan Rakyat, dan kelompok bersenjata lainnya, harus mengambil semua tindakan untuk menjauhkan warga sipil dari bahaya. Bachelet juga mengatakan dia sangat terganggu dengan penahanan dan laporan atau penyiksaan.

Menurut kelompok aktivis Asosiasi Tahanan Politik (AAPP), 5.965 orang telah ditahan sejak kudeta 1 Februari, di mana dari jumlah tersebut  4.804 masih di penjara atau di pusat interogasi dan di bawah tahanan rumah.

AAPP juga mengungkapkan, setidaknya 860 orang telah tewas, 22 di antaranya akibat penyiksaan selama penahanan.

Kudeta Myanmar. Redaksi VOI terus memantau situasi politik di salah satu negara anggota ASEAN itu. Korban dari warga sipil terus berjatuhan. Pembaca bisa mengikuti berita seputar kudeta militer Myanmar dengan mengetuk tautan ini.