JAKARTA - Bocornya rencana pemerintah menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) atas bahan pokok dari sektor pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan ataupun PPN sembako ditanggapi sinis berbagai kalangan.
Bahkan, wacana itu dinilai sebagai bentuk kepanikan pemerintah menanggapi utang negara yang kian menggunung. Pemerintah dinilai sudah kehabisan akal mencari cara menambah pemasukan negara.
"Ini langkah panik pemerintah melihat utang yang menggunung dan penerimaan pajak yang menurun," ujar anggota Fraksi PKS DPR Mardani Ali Sera, Jumat, 11 Juni.
Ketua DPP PKS itu mencurigai, salah satu sebab semakin besarnya utang negara lantaran pembangunan infrastruktur yang tak punya grand design dan fasilitas pendukung.
"Ini adalah dampak dari investasi tidak strategis pada infrastruktur yang tidak didukung dengan pembangunan zona industri dan memperkuat inovasi teknologi," kata Mardani.
BACA JUGA:
Anggota Komisi II DPR itu pun menilai, pemerintah seharusnya bisa lebih kreatif dalam menutup defisit negara dan membuka sumber baru pendapatan. Bukan malah menambah beban hidup rakyat di masa pandemi dengan memajaki kebutuhan pokok.
"Mestinya di masa pandemi pemerintah bisa bekerja lebih cerdas, tidak dengan menaikkan pajak, apalagi terhadap kebutuhan pokok. Tapi harus memperkuat industrialisasi dengan menggunakan energi terbarukan," tandas Mardani Ali Sera.
Diketahui pemerintah berencana mengenakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok yang dibutuhkan oleh rakyat banyak.
Kebijakan itu akan tertuang dalam perluasan objek PPN yang diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan masyarakat dan tak dikenakan PPN sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor 116/PMK.010/2017.
Barang itu meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.