Apindo: Sejumlah Stimulus COVID-19 Tak Efektif dan Negara Berpotensi Kehilangan Devisa Rp59 Triliun
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani. (Mery Handayani/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) menilai sejumlah kebijakan stimulus yang di keluarkan oleh pemerintah di tengah pandemi virus corona atau COVID-19 tidak berjalan efektif untuk membantu masyarakat ataupun pengusaha. Selain itu, negara juga berpotensi kehilangan devisa yang besar karena pandemi ini.

Kebijakan yang dimaksud Apindo di antaranya adalah, relaksasi PPh21, PPh22, PPh25 dan program Kartu Prakerja.

Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani mengatakan, relaksasi PPh21 ini dinilai tidak efektif karena batasannya untuk pekerja dengan gaji Rp200 juta per tahun atau Rp16,67 juta per bulan. Sedangkan, kenyataannya saat ini mayoritas pekerja justru menerima gajinya kurang dari gaji normal.

"Average di sektor pariwisata boleh dibilang malah di bawah 50 persen, jadi dikasih ini juga percuma karena yang dapat penghasilan yang memang sudah rendah," tuturnya, dalam diskusi daring dengan tema 'COVID-19 dan Stimulus Ekonomi', Rabu, 13 Mei.

Hariyadi menilai, pemerintah menulis anggaran Rp70,1 triliun itu sebetulnya hanya di atas kertas saja. Sebab, pada kenyataannya tidak dirasakan manfaat khususnya oleh pekerja.

Kemudian, lanjut Hariyadi, relaksasi PPh22 impor pun juga tidak efektif. Hal ini, karena pajak impor tersebut jika perusahaan melakukan impor yang seharusnya, perhitungan PPh dibayar di belakang. Namun pada kebijakan ini, diharuskan dibayar di muka.

"Nah ini yang dibebaskan. Sekarang ini impor relatif kecil, enggak seperti biasa dan relatif turun tajam," jelasnya.

Tak hanya itu, menurut Hariyadi, relaksasi PPh25 sama. Sebab, yang diminta oleh pengusaha untuk dibebaskan dari angsuran. Karena telah dipastikan perusahaan mengalami kerugian akibat pandemi COVID-19.

"Jadi, kalau rugi ujung-ujungnya pasti enggak bayar PPh25, karena aturan pajak kita diharuskan membayar angsuran sesuai kinerja tahun lalu. Maka nantinya kalau kita membayar 70 persen ini di ujung pasti kami akan lebih dulu bayar. Jadi, ini bukannya nolong malah ngerepotin," ucapnya.

Lebih lanjut, Hariyadi mengatakan, program Kartu Prakerja dasarnya berbasis kompetensi dan saat ini ditambah sebagai semi jaring pengaman sosial. Namun, pada kenyataannya kurang pas. Sebab, di tengah kondisi saat ini bukan kompetensi yang dibutuhkan melainkan Bantuan Langsung Tunai (BLT).

"Ini juga jadi masalah karena dia open registration, semua orang bisa daftar. Akhirnya yang terdampak enggak dapat, dan ini banyak keluhan dari pekerja kami akhirnya mereka enggak dapat," tuturnya.

Kebijakan yang Efektif

Namun, menurut Hariyadi, ada beberapa relaksasi yang efektif dirasakan pengusaha. Salah satunya, restrukturisasi kredit yang tertuang pada Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 11/2020.

Meskipun efektif, kata Hariyadi, namun masih ada kendala yang terjadi dibeberapa lembaga keuangan terkait kebijakan tersebut. Karena likuiditas yang terbatas serta prosesnya yang berlarut.

"Yang efektif itu menurut kami adalah relaksasi di OJK, terus terang memberikan kelonggaran bagi debitur untuk bisa menjadwalkan utangnya kepada lembaga keuangan," katanya.

Selain itu, menurut Hariyadi, Surat Edaran (SE) nomor 4 dan 7 tahun 2020 yang dikeluarkan oleh Menteri Perindustrian juga telah membantu industri yang mengerjakan kebutuhan pokok masyarakat untuk tetap beroperasi.

"Lalu SE Menperin yang membolehkan industri mengerjakan operasionalnya dengan mengajukan surat izin operasi dan mobilitas melalui online," jelasnya.

Lebih lanjut, Hariyadi mengungkap, SE Menteri Ketenagakerjaan no. M/6/HI.00.01/V/2020 tentang Tunjangan Hari Raya juga dirasa pengusaha sangat membantu untuk dapat melakukan negosiasi dengan para pekerjanya.

"Kalau perusahaan masih memiliki dana maka dia bisa membayar sebagian dan sebagian dicicil sampai akhir tahun, tapi kalau perusahaan tidak mempunyai dana sama sekali maka bisa ditunda pembayarannya di akhir tahun," ucapnya.

Potensi Kehilangan Devisa Capai Rp59 Triliun

Apindo juga mencatat potensi kehilangan devisa di tengah pandemi COVID-19 telah mencapai 4 miliar dolar AS atau setara dengan Rp59 triliun. Hariyadi menjelaskan, penghitungan ini dimulai dari awal penyebaran virus ini di Tanah Air hingga penerapan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB).

Hariyadi mengatakan, selama masa pandemi tercatat kurang lebih 2.000 hotel dan 8.000 restoran tutup. Potensi kehilangan pendapatan medio Januari hingga April 2020 diperkirakan sebesar Rp30 triliun untuk sektor perhotelan dan Rp40 triliun untuk sektor restoran.

"Potensi devisa yang hilang pada Januari hingga April 2020 sebesar 4 miliar dolar AS atau sekitar Rp59 triliun," tuturnya.

Menurut Hariyadi, kerugian yang cukup signifikan juga terjadi kepada maskapai penerbangan. Berdasarkan catatan Apindo, kerugian secara industri telah mencapai 812 juta dolar AS. Sementara itu, untuk kerugian tour operator mencapai Rp4 triliun.

"Saat ini 90 persen pekerja di sektor pariwisata dirumahkan. Jadi, yang di-PHK sangat tidak signifikan. Karena kalau PHK harus diberikan uang pesangon dan jumlah pekerja di sektor pariwisata sekarang 13 juta orang," jelasnya.