JAKARTA - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus mengalami pelemahan. Mengutip data Bloomberg pada Kamis, 19 Desember pada pukul 14.22 WIB, kurs rupiah spot anjlok 202.50 poin atau 1,26 persen berada ke level Rp16.300 per dolar AS.
Analisis Kebijakan Ekonomi Bidang Perbankan dan Jasa Keuangan Apindo, Aviliani mengatakan, pergerakan rupiah masih sangat bergantung pada portofolio asing sehingga ketika terdapat yield atau insentif menarik di AS, aliran modal cenderung kembali ke sana, yang menyebabkan pelemahan rupiah.
"Ketika ada yield yang menarik di AS atau insentif yang menarik di AS, Cenderung mereka akan, sepertinya dolar pulang kampung gitu ya, sehingga biasanya rupiah cenderung melemah" ujarnya dalam konferensi pers, Kamis, 19 Desember.
Menurut Aviliani salah satu solusi untuk menstabilkan rupiah adalah dengan memperkuat Devisa Hasil Ekspor (DHE), meskipun saat ini jumlah DHE masih rendah dibandingkan dengan volume impor.
Ke depan, Aviliani menyampaikan penting bagi pemerintah untuk mengembangkan bisnis berbasis ekspor dengan insentif dan kebijakan yang mendukung, tidak hanya di sektor hilir, tetapi juga di sektor hulu.
“Karena itu ke depan, bisnis-bisnis yang mulai harus dikembangkan oleh pemerintah dengan insentifnya dan segala macam kebijakan-kebijakannya itu harus yang berbasis pada ekspor. Ekspor, kita bicaranya jangan di hilirisasi saja, tapi juga hulu. Nah kita sering kali melupakan hulunya,” tuturnya.
Menurut Aviliani hal tersebut menyebabkan impor lebih tinggi daripada hasil industri domestik, sehingga nilai tambah yang dihasilkan industri juga rendah. Hal ini berdampak pada rendahnya devisa yang dikumpulkan.
"Nah itu yang harus dipikirkan oleh pemerintah ke depan adalah terkait dengan orientasi ekspor, oleh karena itu, menurut saya Departemen Perindustrian sudah mulai harus mapping mana sih yang nilai tambahnya itu tinggi, kemudian insentifnya juga perlu disiapkan," jelasnya.
Aviliani menyampaikan karena saat ini insentif yang ada belum cukup efektif. Dimana stabilitas rupiah di masa depan akan sangat bergantung pada upaya ini.
Menurut Aviliani sektor yang paling terpengaruh oleh pelemahan rupiah adalah bisnis yang bergantung pada impor. Ketika rupiah melemah, biaya impor meningkat, dan daya saing sektor tersebut menurun.
Untuk bertahan, Aviliani menyampaikan banyak perusahaan terpaksa melakukan efisiensi yang sering kali berujung pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan juga berpotensi menyebabkan inflasi karena kenaikan harga barang akibat pelemahan rupiah.
SEE ALSO:
"Nah efisiensi ini yang biasanya akibatnya ke PHK, kemudian efisiensi ini juga akibatnya ke berbagai hal yang supaya mereka tetap bisa survive kalau kaga bisa survive akhirnya mereka kan naikin harga barang. Jadi inflasi juga bisa terjadi karena pelemahan rupiah," tuturnya.
Aviliani menyampaikan meskipun sebagian besar sektor menunjukkan pertumbuhan yang positif, ada dua sektor yang perlu mendapat perhatian lebih. Sektor air bersih dan konsumsi pemerintah mengalami pertumbuhan yang sangat rendah, padahal sektor ini penting untuk kesejahteraan masyarakat dan berperan penting sebagai stimulus ekonomi.
"Justru yang jelek itu adalah air bersih jadi menurut saya ini yang perlu diperhatikan justru yang berhubungan dengan masyarakat banyak harus menjadi perhatian, itu malah tumbuhnya sangat rendah air bersih. Lalu yang kedua yang juga tumbuhnya rendah adalah juga konsumsi pemerintah. Padahal konsumsi pemerintah itu jadi penting menjadi sumber juga stimulus. Yang dua itu sebenarnya perlu diperhatikan. Kalau yang lain sebenarnya hampir positif," pungkasnya.