Bagikan:

JAKARTA - Pemerintah China mengesahkah undang-undang untuk melawan sanksi asing, terkait dengan tekanan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) atas perdagangan, teknologi, Hong Kong dan Xinjiang, Kamis waktu setempat. 

Undang-undang baru ini adalah alat hukum terbaru dan paling luas di China, untuk membalas sanksi asing dan dimaksudkan untuk memberi tindakan pembalasan China lebih banyak legitimasi dan prediktabilitas, menurut para ahli lokal, seperti melansir Reuters, Kamis 10 Juni. 

Untuk itu, legislatif tinggi China, Komite Tetap Kongres Rakyat Nasional (NPC) mengesahkan undang-undang pada hari Kamis, menurut televisi pemerintah CCTV. Namun detail isinya belum dirilis.

Semua 14 wakil ketua komite berada di bawah sanksi AS, karena mengesahkan Undang-Undang Keamanan Nasional tahun lalu, yang menurut para kritikus telah melumpuhkan kebebasan politik di Hong Kong. Beijing mengatakan itu diperlukan untuk memulihkan stabilitas di negara kota tersebut.

Sebelumnya, Presiden Xi Jinping pada November lalu menyerukan agar Partai Komunis yang berkuasa menggunakan cara-cara hukum untuk mempertahankan kedaulatan, keamanan dan kepentingan China dari pihak asing.

Sementara, dalam laporan kerjannya tahunannya pada Maret lalu, NPC mengatakan ingin memperbarui kotal peralatan hukum untuk mengatasi risiko dari sanksi dan campur tangan asing.

Pada Bulan Januari, kementerian perdagangan mengumumkan mekanisme untuk menilai apakah pembatasan asing pada perdagangan dan kegiatan bisnis China dibenarkan, dan bagi individu atau perusahaan Tiongkok untuk menuntut kompensasi di pengadilan China.

Adapun sanksi Amerika Serikat dan sekutunya semakin bertambah, terkait dengan perlakuan China terhadap minoritas Muslim Uighur di Xinjiang dan kegiatan pro-demokrasi di Hong Kong, yang memicu sanksi balasan oleh China terhadap politisi dan pejabat AS dan Uni Eropa.

Untuk diketahui, RUU ini pertama kali dibacakan secara rahasia pada Bulan April. Pengesahan hari ini berjarak dua hari setelah NPC mengumumkan mereka tengah melakukan pembacaan kedua RUU kedua tersebut. 

Pengesahan ini direspon dengan kekhkawatiran. Kamar Dagang Uni Eropa mengatakan, anggotanya khawatir dengan kurangnya transparansi tentang pengesahan RUU tersebut.

"China tampaknya terburu-buru. Tindakan seperti itu tidak kondusif untuk menarik investasi asing atau meyakinkan perusahaan yang semakin merasa, mereka akan digunakan sebagai pion pengorbanan dalam permainan catur politik," terang Presiden Kamar Dagang Uni Eropa Joerg Wuttke kepada Reuters.