JAKARTA - Ketua Jokowi Mania (Joman) Immanuel Ebenezer mendukung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2024 mendatang.
Menurutnya, hasil kerja Ganjar selama dua periode dapat dilihat dan dirasakan masyarakat. Terlepas, dari polemik yang terjadi dengan PDIP belakangan ini.
"Ada sesuatu hari ini yang tren di masyarakat bahwa sosok Ganjar adalah sosok yang dilihat dan bisa dirasakan. Pertama dilihat kerjanya, dan dirasakan hasil kerjanya. Inilah yang menjadi pertimbangan kita untuk mendukung Ganjar di 2024," ujar Immanuel dalam diskusi bertajuk Puan Iri Hati atau Ganjar Tak Tahu Diri secara daring, Minggu, 30 Mei.
"Karena kami tidak punya kepentingan apa-apa. Kami tidak terjebak persoalan konflik internal partai. Bagaimanapun juga kita tahu track record Ibu Mega, dia sosok pimpinan partai yang tidak ada tandingannya," sambungnya.
Pria yang akrab disapa Noel itu mengakui bahwa 'Politik Air Mancur' yang disebutkan politikus PDIP, Effendi Simbolon, memang tak bisa dipungkiri. Di mana, sosok yang sudah didukung seperti tak bisa balas budi.
BACA JUGA:
"Memang hari ini tren politisi, pemimpin, memakai cara pola air mancur. Berjuang berdekatan, setelah jadi malah orang jauh di sana yang lebih diprioritaskan. Itu betul sekali," kaya Noel.
Sebelumnya, Effendi mengkritik Ganjar bahwa selama 2 hingga 3 tahun ke belakang, Gubernur Jateng itu kurang perhatian kepada internal partai khususnya kader di daerah pilihannya. Sehingga muncullah istilah Politik Air Mancur, yang artinya orang dekat tak tak rasakan apa-apa sementara orang jauh terkena cipratan airnya.
"Effendi Simbolon ini kader partai yang selalu tegak lurus terhadap nilai-nilai demokrasi dan kritiknya. Jokowi apa yang tidak dikritik oleh Effendi Simbolon?" sindir Noel.
"Tetapi saya tidak mau terjebak dengan konflik internal partai. Karena bagaimanapun namanya partai faksionalisasi pasti ada apakah akumulasi yang terjadi di Jawa Tengah itu (hubungannya, red) internal PDIP," katanya.
Menyoal Ganjar kurang empati terhadap kader banteng di Jawa Tengah, Noel menilai tentu yang lebih paham adalah PDIP sendiri. Masyarakat, kata dia, hanya tahu bahwa selama ini kinerja Ganjar bisa dirasakan di lapangan.
"Kalau itu kan yang paham sekali hanya PDIP. Tapi faktanya hari ini yang kita lihat, kita kroscek di lapangan bahwa Ganjar adalah sosok bisa dilihat dan bisa dirasakan dengan hasil kerjanya," terang Noel.
"Kemudian ada Puan mengkritik pemimpin yang baik itu harus ada di lapangan bukan di media sosial. Lho media sosial itu sarana untuk menyampaikan, mempromosikan kerja-kerja beliau yang lebih aktual. Artinya beliau mencoba mem-blast itu di media sosialnya biar lebih mudah. Kalau itu menurut saya nada berbasis sinisme politik. Ini bahaya sekali," tambahnya.
Noel pun menyarankan agar pihak-pihak yang tidak suka dengan gaya politik Ganjar dengan selalu mempublikasi kerjanya lewat media sosial, agar lebih cerdas menangkap pesan.
"Jadi jangan melek media sosial lantas kita bully, itu kan nggak fair. Jangan karena kebodohan kita lantas kita bilang orang itu bodoh, itu tidak baik juga. Hari ini banyak politisi-politisi di Indonesia budayanya masih budaya lama yang menyampaikan program politik dan kerjanya melalui media mainstream. Hari ini ada sarana baru lagi," katanya mengingatkan.
Noel lantas menyebut bahwa PDIP mungkin trauma dengan pemimpin yang melakukan praktik politik 'Air Mancur'. Di mana awal diusung PDIP sebagai kendaraan politik, kemudian setelah menang malah ditinggalkan.
"Saya melihat ini adalah pesan tekanan politik untuk disampaikan ke Ganjar bahwa politik air mancur sudahi dulu. Kalau kamu mau jadi pemimpin, nanti jangan pola begitu. Saya melihat semacam ada traumatik masa lalu yang dirasakan oleh PDIP karena hampir semua orang-orang yang dijagokan PDIP memang tidak (perhatian, red)," papar Noel.
"Misalkan Bibit Waluyo, kemudian Sutiyoso dan banyak orang-orang yang didorong PDIP malah ekspektasinya di luar harapan yang diinginkan oleh PDIP. Kan (PDIP, red) partai yang berbasis kerakyatan, seharusnya jangan juga ketika anda mimpin kok hilang program kerakyatannya malah kecenderungan berpesta pora dengan candu kekuasaan dan ini bahaya," tandas Immanuel Ebenezer.