JAKARTA - Pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno mengatakan ada dua fakta politik yang bisa ditangkap publik terkait polemik tak diundangnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di acara PDIP di Semarang, Sabtu, 22 Mei lalu.
Pertama, Ganjar dinilai Ketua DPD PDIP Jateng Bambang Wuryanto terlalu berambisi menjadi capres. Kedua, Ganjar dinilai 'kacang lupa kulit dengan politik air Mancur' oleh politikus PDIP Effendi Simbolon.
Kemudian, publik berspekulasi dan mengkaitkan terus dengan Pilpres 2024. Ditambah sindiran Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang menyebutkan pemimpin cuma aktif di medsos.
"Suka tidak suka, ini menegaskan Puan sedang ingin menunjukkan super power-nya sebagai pengurus penting di DPP, yang kemudian diterjemahkan oleh Bambang Pacul bahwa Ganjar lebih aktif di medsos, mikir tentang Pilpres dan tidak memikirkan hal lain," ujar Adi dalam diskusi bertajuk 'Puan Iri Hati atau Ganjar Tak Tahu Diri' secara daring, Minggu, 30 Mei.
"Itu yang ditangkap seolah-olah serangan yang dilakukan secara terbuka itu sangat terkait dengan Ganjar Pranowo menari dengan indah ditengah tabuhan genderang medsos yang lagi viral," sambungnya.
Menurut Adi, Ganjar tentu sangat menikmati pada awal-awal tetapi ketika di sleding PDIP, satu-dua hari media sosial Ganjar berhenti berdenyut.
"Twitter-nya, IG-nya tidak ada narsisme lagi dan semacamnya. Itu fakta politik," katanya.
BACA JUGA:
Adi mengatakan, narasi politik yang disampaikan oleh Effendi Simbolon soal politik Air Mancur harus jadi mainstream sehingga publik berhenti mengeluarkan head to head antara Ganjar dan Puan.
"Ganjar offside, dinilai terlalu agresif di tengah kader partai sedang berpikir bagaimana memikirkan pandemi. Ganjar terlalu terlampau banyak menyebarkan narasi untuk menuju pencapresan di 2024. Dan hal yang disampaikan oleh Effendi soal kacang lupa kulit, tidak diundang dsb, itu kan footnote biasa yang menjadi lumrah dalam berpartai," kata Adi.
"Tapi yang kita tangkap bahwa seakan-akan ada kesan bahwa bermimpi menjadi presiden di PDIP sebelum ada fatsun resmi dari ketua umum itu dilarang, enggak boleh. Itu yang kemudian menggambarkan, apa salah kader partai entah dari kepala daerah atau anggota dewan mimpi indahnya itu ingin jadi capres di 2024 mendatang?," tambahnya.
Adi menilai, PDIP punya rasionalitas tersendiri kenapa Ganjar "dikunci", dan supaya tidak terlampau agresif. Namun, yang menjadi pertanyaan apakah hanya Ganjar saja, kader yang dianggap berambisi menjadi capres.
"Jadi jangan salahkan kacang lupa kulitnya, atau just only untuk Ganjar. Ini yang kemudian tidak menghentikan spekulasi publik lalu muncul diagram soal elektabilitas dan popularitas membanding-bandingkan. Nah kalau ada tambahan data-data politisi PDIP, soal kepala daerah yang kacang lupa kulitnya orang pasti akan berhenti bicara tentang pencapresan 2024," kata Adi.
Direktur eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) itu lantas membuka data survei terbuka lembaganya pada Februari lalu. Hasilnya, popularitas Ganjar dan Puan hampir sama dikisaran angka 60-62 persen.
"Tapi memang ada disparitas yang cukup jauh soal elektabilitas, Ganjar itu memang lebih unggul kalau ketimbang Puan. Tapi kan begini, Ganjar ini hanya unggul di 3 wilayah hampir mayoritas pemilih PDIP Jateng. Sedikit di Jawa Timur dan Jawa Barat. Selebihnya tidak. Ini yang kemudian menjadi agak lucu dan perlu juga menjadi bahan evaluasi bagi PDIP terutama Puan yang mewarisi trah ideologi politik Bung Karno," bebernya.
Adi juga menjelaskan alasan mengapa Ganjar lebih dikenal sebagai sosok merakyat oleh publik ketimbang Puan. Yakni, tak lain karena faktor medsos.
"Ganjar dinilai direpresentasikan wong cilik, merakyat, humble, mungkin publik melihat di medsosnya. Lain hal Puan misalnya, dikit-dikit mengkritik tentang Sumatera Barat, kemudian matiin mic ketika ada orang interupsi, nah itu yang lebih mengemuka, bukan yang sudah di lakukan terutama menjadi pimpinan DPR," jelasnya.
Karena itu, Adi menilai, Puan pun juga harus lebih gencar pencitraan di media sosial. Terlebih posisinya sebagai ketua DPR RI.
"Politik hari ini memang harus pencitraan. Jokowi juga jadi presiden tidak terlepas dari pencitraan, itu suatu hal yang tidak bisa dilepaskan. Artinya bahwa pencitraan oke, tapi kaki memang harus nyentuh ke tanah itu substansinya. Di mana PDIP selalu merepresentasikan sebagai partai wong cilik. Ini titik balik menjadi feedback yang cukup penting bagi kader-kader PDIP,"
"Selama hanya Ganjar yang di sleding sebagai politisi air mancur, selama itu juga ini akan dikaitkan dengan tiket pencapresan menuju 2024," demikian Adi.