Polemik Puan dan Ganjar: Politik Air Mancur, Berjuang Berdekatan, Setelah Itu yang Jauh yang Diprioritaskan
Ilustrasi (Pixabay)

Bagikan:

JAKARTA - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) mengungkap alasan lain tak diundangnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam acara pembukaan Pameran Foto Esai Marhaen dan Foto Bangunan Cagar Budaya yang dihadiri Ketua DPR Puan Maharani di kantor DPD PDIP Jawa Tengah, Semarang, Sabtu malam, 22 Mei lalu. 

Semula Ketua DPP PDIP sekaligus Ketua DPD PDIP Jawa Tengah Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul, yang menyebut Ganjar terlalu ambisius ingin nyapres. 

Politikus PDIP Effendi Simbolon mengungkapkan bahwa pernyataan Bambang Pacul bukan secara pribadi, tapi merupakan suara partai. 

"Apa yang disampaikan partai jadi bukan Bambang Pacul, itu bagian dari sebab akibat," ujar Effendi dalam diskusi Chrosscheck bertajuk Puan Iri Hati atau Ganjar Tak Tahu Diri secara daring, Minggu, 30 Mei.

Menurut Effendi, Ganjar sudah dipantau partai sejak lama. Gubernur Jateng dua periode itu dianggap 'asyik sendiri' tanpa memperhatikan unsur partai yang telah membantunya menang. Rupanya Ganjar juga dianggap kurang 'perhatian' terhadap partai. 

"Itu cukup lama, jadi akumulasi partai melihat hal-hal yang lebih asesmen atau internal bagaimana Ganjar ini lebih asik dengan dirinya. Jadi kami-kami ini kan bagian dari kader yang tidak seperti domba yang jalan sendiri," kata mantan anggota DPR itu.

Bahkan, kata dia, sudah 2-3 tahun Ganjar lebih menonjolkan citra dirinya tanpa memperhatikan internal partai yang sudah mendukungnya. Effendi menyebut Ganjar bak Politik Air Mancur, di mana yang jauh terasa cipratan airnya namun di bawahnya tak ada apa-apa.

"Kurang empati tertawa bersama rakyat yang sering didengungkan oleh Ibu ketum, tidak terasa dibawah seperti air mancur yang kena yang jauh aja. Siapa yang berkeringat siapa yang kena airnya," kata Effendi. 

Sebagaimana diketahui, lanjutnya, bahwa kontribusi terbesar suara PDIP berasal dari Jawa Tengah. Bahkan mayoritas kepala daerah PDIP ada di Jateng. Sehingga partai mengambil sikap dan teguran untuk tidak mengikutsertakan Ganjar pada acara 3 Pilar di Semarang.

"Ya ini lebih kepada bagaimana kurang empati lah, bersentuhan, maka yang disampaikan (Bambang Pacul, red) itu ya tentu menurut saya itu akumulasi panjang bahkan sudah lama lebih dr 2-3 tahun," jelasnya.

Menyinggung soal Ganjar tak perhatian kepada siapa, rakyat atau internal, Effendi menyebutkan bahwa ia kurang dekat dengan internal PDIP.

"Wa bil khusus ya kepada kader bukan hanya pengurus. Saya sampai ke Senayan bukan karena diri saya, mereka memandang partai barulah milih orangnya siapa ketumnya. Itu kan faktor memilih orang, kenapa kita tidak beri kontribusi yang lebih kepada mereka yang menjadikan kita?," bebernya 

"Ya jangan dong kamu hanya show aja di sosmed," tandas Effendi.

Joman: Ganjar Bisa Dilihat, Bisa Dirasakan 

Ketua Jokowi Mania (Joman) Immanuel Ebenezer mendukung Ganjar Pranowo untuk maju sebagai calon presiden pada Pilpres 2024 mendatang. 

Menurutnya, hasil kerja Ganjar selama dua periode dapat dilihat dan dirasakan masyarakat. Terlepas, dari polemik yang terjadi dengan PDIP belakangan ini.

"Ada sesuatu hari ini yang tren di masyarakat bahwa sosok Ganjar adalah sosok yang dilihat dan bisa dirasakan. Pertama dilihat kerjanya, dan dirasakan hasil kerjanya. Inilah yang menjadi pertimbangan kita untuk mendukung Ganjar di 2024," ujar Immanuel dalam diskusi yang sama.

Pria yang akrab disapa Noel itu mengakui bahwa 'Politik Air Mancur' yang disebutkan politikus PDIP, Effendi Simbolon, memang tak bisa dipungkiri. Dimana, sosok yang sudah didukung seperti tak bisa balas budi.

"Memang hari ini tren politisi, pemimpin, memakai cara pola air mancur. Berjuang berdekatan, setelah jadi malah orang jauh di sana yang lebih diprioritaskan. Itu betul sekali," kaya Noel.

"Tetapi saya tidak mau terjebak dengan konflik internal partai. Karena bagaimanapun namanya partai faksionalisasi pasti ada apakah akumulasi yang terjadi di Jawa Tengah itu (hubungannya, red) internal PDIP," tambahnya.

Menyoal Ganjar kurang empati terhadap kader banteng di Jawa Tengah, Noel menilai tentu yang lebih paham adalah PDIP sendiri. Masyarakat, kata dia, hanya tahu bahwa selama ini kinerja Ganjar bisa dirasakan di lapangan.

"Kalau itu kan yang paham sekali hanya PDIP. Tapi faktanya hari ini yang kita lihat, kita kroscek di lapangan bahwa Ganjar adalah sosok bisa dilihat dan bisa dirasakan dengan hasil kerjanya," terang Noel.

"Kemudian ada Puan mengkritik pemimpin yang baik itu harus ada di lapangan bukan di media sosial. Loh media sosial itu sarana untuk menyampaikan, mempromosikan kerja-kerja beliau yang lebih aktual. Artinya beliau mencoba mem-blast itu di media sosialnya biar lebih mudah. Kalau itu menurut saya nada berbasis sinisme politik. Ini bahaya sekali," tambahnya.

Noel pun menyarankan agar pihak-pihak yang tidak suka dengan gaya politik Ganjar dengan selalu mempublikasi kerjanya lewat media sosial, agar lebih cerdas menangkap pesan.

"Jadi jangan melek media sosial lantas kita bully, itu kan enggak fair. Jangan karena kebodohan kita lantas kita bilang orang itu bodoh, itu tidak baik juga. Hari ini banyak politisi-politisi di Indonesia budayanya masih budaya lama yang menyampaikan program politik dan kerjanya melalui media mainstream. Hari ini ada sarana baru lagi," katanya mengingatkan.

Noel lantas menyebut bahwa PDIP mungkin trauma dengan pemimpin yang melakukan praktik politik 'Air Mancur'. Di mana awal diusung PDIP sebagai kendaraan politik, kemudian setelah menang malah ditinggalkan.

"Saya melihat ini adalah pesan tekanan politik untuk disampaikan ke Ganjar bahwa politik air mancur sudahi dulu. Kalau kamu mau jadi pemimpin, nanti jangan pola begitu. Saya melihat semacam ada traumatik masa lalu yang dirasakan oleh PDIP karena hampir semua orang-orang yang dijagokan PDIP memang tidak (perhatian, red)," papar Noel.

Beda Citra Ganjar dan Puan di Medsos

Masih dalam diskusi yang sama, pengamat politik UIN Syarif Hidayatullah Adi Prayitno mengatakan ada dua fakta politik yang bisa ditangkap publik terkait polemik tak diundangnya Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo di acara PDIP di Semarang, Sabtu, 22 Mei lalu.

Pertama, Ganjar dinilai Ketua DPD PDIP Jateng Bambang Wuryanto terlalu berambisi menjadi capres. Kedua, Ganjar dinilai 'kacang lupa kulit dengan politik air Mancur' oleh politikus PDIP Effendi Simbolon.

Kemudian, publik berspekulasi dan mengaitkan terus dengan Pilpres 2024. Ditambah sindiran Ketua DPP PDIP Puan Maharani yang menyebutkan pemimpin cuma aktif di medsos.

"Suka tidak suka, ini menegaskan Puan sedang ingin menunjukkan super power-nya sebagai pengurus penting di DPP, yang kemudian diterjemahkan oleh Bambang Pacul bahwa Ganjar lebih aktif di medsos, mikir tentang Pilpres dan tidak memikirkan hal lain," ujar Adi.

"Itu yang ditangkap seolah-olah serangan yang dilakukan secara terbuka itu sangat terkait dengan Ganjar Pranowo menari dengan indah ditengah tabuhan genderang medsos yang lagi viral," sambungnya.

Menurut Adi, Ganjar tentu sangat menikmati pada awal-awal tetapi ketika di sleding PDIP, satu-dua hari media sosial Ganjar berhenti berdenyut. 

"Twitter-nya, IG-nya tidak ada narsisme lagi dan semacamnya. Itu fakta politik," katanya.

Adi mengatakan, narasi politik yang disampaikan oleh Effendi Simbolon soal politik Air Mancur harus jadi mainstream sehingga publik berhenti mengeluarkan head to head antara Ganjar dan Puan.

"Ganjar offside, dinilai terlalu agresif di tengah kader partai sedang berpikir bagaimana memikirkan pandemi. Ganjar terlalu terlampau banyak menyebarkan narasi untuk menuju pencapresan di 2024. Dan hal yang disampaikan oleh Effendi soal kacang lupa kulit, tidak diundang dsb, itu kan footnote biasa yang menjadi lumrah dalam berpartai," kata Adi.

"Tapi yang kita tangkap bahwa seakan-akan ada kesan bahwa bermimpi menjadi presiden di PDIP sebelum ada fatsun resmi dari ketua umum itu dilarang, enggak boleh. Itu yang kemudian menggambarkan, apa salah kader partai entah dari kepala daerah atau anggota dewan mimpi indahnya itu ingin jadi capres di 2024 mendatang?," tambahnya. 

Adi menilai, PDIP punya rasionalitas tersendiri kenapa Ganjar "dikunci", dan supaya tidak terlampau agresif. Namun, yang menjadi pertanyaan apakah hanya Ganjar saja, kader yang dianggap berambisi menjadi capres?

"Jadi jangan salahkan kacang lupa kulitnya, atau just only untuk Ganjar. Ini yang kemudian tidak menghentikan spekulasi publik lalu muncul diagram soal elektabilitas dan popularitas membanding-bandingkan. Nah kalau ada tambahan data-data politisi PDIP, soal kepala daerah yang kacang lupa kulitnya orang pasti akan berhenti bicara tentang pencapresan 2024," kata Adi.

Direktur eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) itu lantas membuka data survei terbuka lembaganya pada Februari lalu. Hasilnya, popularitas Ganjar dan Puan hampir sama di kisaran angka 60-62 persen.

"Tapi memang ada disparitas yang cukup jauh soal elektabilitas, Ganjar itu memang lebih unggul kalau ketimbang Puan. Tapi kan begini, Ganjar ini hanya unggul di 3 wilayah hampir mayoritas pemilih PDIP Jateng. Sedikit di Jawa Timur dan Jawa Barat. Selebihnya tidak. Ini yang kemudian menjadi agak lucu dan perlu juga menjadi bahan evaluasi bagi PDIP terutama Puan yang mewarisi trah ideologi politik Bung Karno," bebernya.

Adi juga menjelaskan alasan mengapa Ganjar lebih dikenal sebagai sosok merakyat oleh publik ketimbang Puan. Yakni, tak lain karena faktor medsos.

"Ganjar dinilai direpresentasikan wong cilik, merakyat, humble, mungkin publik melihat di medsosnya. Lain hal Puan misalnya, dikit-dikit mengkritik tentang Sumatera Barat, kemudian matiin mic ketika ada orang interupsi, nah itu yang lebih mengemuka, bukan yang sudah di lakukan terutama menjadi pimpinan DPR," jelasnya.

Karena itu, Adi menilai, Puan pun juga harus lebih gencar pencitraan di media sosial. Terlebih posisinya sebagai ketua DPR RI.

"Politik hari ini memang harus pencitraan. Jokowi juga jadi presiden tidak terlepas dari pencitraan, itu suatu hal yang tidak bisa dilepaskan. Artinya bahwa pencitraan oke, tapi kaki memang harus nyentuh ke tanah itu substansinya. Di mana PDIP selalu merepresentasikan sebagai partai wong cilik. Ini titik balik menjadi feedback yang cukup penting bagi kader-kader PDIP," pungkasnya.

"Selama hanya Ganjar yang disleding sebagai politisi air mancur, selama itu juga ini akan dikaitkan dengan tiket pencapresan menuju 2024," kata Adi menandaskan.