JAKARTA - Di Indonesia, kabar "impor" ratusan tenaga kerja asing terdengar nyaring. Di Jepang justru sebaliknya. Para pekerja asing terancam pemecatan besar-besaran akibat krisis ekonomi yang disebabkan pandemi COVID-19.
Pekerja asal Brasil, Rennan Yamashita (31), misalnya. Seorang wartawan Channel News Asia menemuinya di kantor pemerintah Jepang sedang mengurus formulir asuransi pengangguran. Ia telah kehilangan pekerjaannya untuk yang kesembilan kalinya.
Yamashita diberhentikan dari pekerjaannya di pabrik suku cadang mobil bebarapa minggu sebelumnya. Dirinya hanya sempat bekerja empat bulan di pabrik itu.
"Jika mereka membutuhkanmu, kamu akan dipekerjakan. Jika tidak, mereka akan memecatmu. Sesederhana itu," kata Yamashita.
Seorang wanita blasteran Brasil-Jepang, Kaori Nakao mengalami hal serupa. Majikannya di pabrik komponen mobil memberhentikannya karena ada pengurangan produksi imbas dari pandemi. Ia juga diminta meninggalkan apartemen perusahan tempat ia tinggal selama ini.
"Padahal saya hanya ingin bekerja," kata Nakao. "Saya tidak punya uang bahkan saya tidak bisa membeli makanan untuk anak saya."
Pandemi telah menggerogoti ekonomi Negeri Sakura. Alhasil, banyak pabrik, termasuk produsen otomotif mengurangi produksi mereka.
Para pekerja asing menjadi kelompok yang rentan pemecatan. Dukungan jaringan yang lemah dan keterbatasan bahasa negara domisili menyulitkan mereka mencari bantuan pemerintah.
Khawatir PHK massal
Kelompok-kelompok serikat, pengacara buruh, dan LSM menyebut pekerja asing seperti Yamashita adalah yang pertama kehilangan pekerjaan karena dampak ekonomi akibat pandemi COVID-19. Kejadian itu dikhawatirkan meluas menjadi PHK massal seperti yang terjadi pada krisis keuangan 2008.
Bulan lalu, Pusat Penelitian Ekonomi Jepang memperkirakan, jika PDB Jepang turun 25 persen tahun ini, maka tingkat pengangguran akan mencapai lima persen dan sekitar dua juta orang bisa kehilangan pekerjaan.
Kota Mie yang menjadi pusat manufaktur di Jepang sudah mengalami gejala-gejala krisis itu. Menurut sebuah organisasi buruh yang berbasis di Mie, mereka telah menerima empat ratus konsultasi dari para pekerja yang terdampak krisis ekonomi. Sebanyak 330 orang merupakan pekerja asing.
"Pekerja asing dengan kontrak jangka pendek diberhentikan terlebih dahulu," karena mereka lebih mudah dipecat, kata organisator serikat buruh Mie Akai Jimbu.
Tahun lalu tercatat 34,5 persen karyawan asing di Mie adalah pekerja temporer. "Ini seperti mereka disewa sehingga bisa dipecat ketika keadaan menjadi sulit. Mereka hanya "sekrup" cadangan di mata majikan," kata Jimbu.
Ketergantungan pekerja asing
Pandemi berkepanjangan membuat ancaman pemecatan semakin nyata khususnya pagi tenaga kerja asing. Padahal ketergantungan Jepang terhadap pekerja asing cukup tinggi.
Pasalnya populasi pekerja di negara tersebut kecil dan sepertiga populasinya berusia 65 tahun. Oleh karena itu pemerintah Jepang telah melonggarkan pembatasan imigrasi.
Sampai Oktober 2019, lebih dari 1,6 juta tenaga kerja asing mendukung perokonomian mereka. Jumlah itu meningkat empat kali lebih banyak dari 2008.
BACA JUGA:
Seorang pejabat kementerian tenaga kerja mengatakan kepada Reuters bahwa mereka tidak secara resmi mencatat jumlah pekerja asing yang diberhentikan. Alasannya karena mereka mendukung semua golongan pekerja tanpa memandang kebangsaannya.
Baru-baru ini pemerintah Jepang telah mengalokasikan 3,46 juta dolar AS untuk meningkatkan kemampuan multibahasa untuk orang asing di kantor pengangguran dan juga online. Namun tak banyak pekerja asing yang memanfaatkannya.