Bagikan:

JAKARTA - Berjabat tangan sudah dilakukan sejak berabad-abad yang lalu sebagai simbol perdamaian. Dalam konteks peperangan, berjabat tangan juga jadi bahasa untuk gencatan senjata. Seiring berjalannya waktu, jabat tangan jadi bagian dari interaksi sosial, profesional, bisnis, dan olahraga.

Namun sejak virus corona baru penyebab COVID-19 muncul, banyak orang memikirkan kembali untuk berjabatan tangan dengan seseorang. Tidak peduli sopan atau tidak. Sebab, menurut pernyataan otoritas kesehatan dunia, berjabat tangan dapat jadi medium pertukaran mikroorganisme yang berpotensi menularkan penyakit.

"Tangan seperti persimpangan sibuk, terus-menerus menghubungkan microbiome kami ke microbiome orang lain, tempat, dan lain-lain," kata sekelompok ilmuwan dalam Journal of Dermatological Science. Tangan, kata mereka, adalah 'vektor kritis' untuk mentransmisikan mikroorganisme, termasuk virus.

"Pikirkan ini. Setiap kali Anda menyentuh suatu permukaan, Anda mungkin mengambil hingga 50 persen organisme di permukaan itu," kata Charles Gerba, seorang ahli mikrobiologi dan peneliti kesehatan masyarakat di University of Arizona. 

Melansir Reuters, Rabu 29 April, tangan manusia konon dapat membawa Salmonella, E. coli, norovirus dan penyebab infeksi pernapasan seperti adenovirus dan penyakit mulut-tangan. Mengingat betapa seringnya para ilmuwan menemukan kotoran di jari-jari dan telapak tangan manusia, kebiasaan kebersihan tangan masyarakat pun jauh lebih buruk dari yang dikira.

Gerba juga mempelajari pergerakan virus. Dia meletakkan virus di kenop pintu kantor, di kamar hotel, dan di rumah seseorang. Dia mengatakan, hanya perlu empat jam bagi virus pada kenop pintu kantor untuk mencapai tangan dan permukaan di gedung kantor atau sekitar 90 persen permukaan di rumah seseorang.

Sementara, virus di sebuah hotel sering berpindah dari kamar ke kamar dan kadang-kadang ke ruang konferensi terdekat. Gerba mengatakan bahwa dia sendiri berhenti berjabat tangan sejak wabah SARS pada 2003. “Saya selalu mengatakan saya sedang flu. Dengan begitu saya tidak perlu menjabat tangan banyak orang," kata Gerba. 

Pakar penyakit menular di Amerika Serikat (AS), Dr Anthony Fauci memiliki pandangan yang sama sejak pandemi COVID-19 melanda. "Anda tidak akan menjabat tangan siapa pun. Hal itu sudah jelas," kata Fauci.

Photo by Cytonn Photography on UnsplashCaption

Budaya lama

Namun demikian, berjabat tangan telah lama menjadi cara bagi manusia untuk saling memberi isyarat dan bagian dari ritual mencari titik temu. Tetapi jika tidak lagi dapat diterima secara otomatis, apa yang akan menggantikan jabat tangan sebagai pelengkap etika sosial pasca-COVID-19? 

"Jabat tangan adalah proses yang difoto pada saat terdapat suatu perjanjian," kata Dorothy Noyes, seorang profesor di Ohio State University.

Jabat tangan yang panjang dan tegas dari Presiden AS Donald Trump dan Presiden Prancis Emmanuel Macron pada 2018 adalah tampilan klasik dua pria yang mencari dominasi. Beberapa jabat tangan, seperti jabatan tangan Presiden China Xi Jinping dan Perdana Menteri (PM) Jepang Shinzo Abe, membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk mencapai titik tersebut yang menandakan bahwa kedua pihak akhirnya sepakat dengan berbagai kesepakatan-kesepakatan yang telah dinegosiasikan sejak lama.

Beberapa menit setelah mengumumkan larangan berjabatan tangan untuk memerangi COVID-19, PM Belanda Mark Rutte dengan antusias menjabat tangan Jaap Van Dissel, kepala Pusat Pengendalian Penyakit Menular Belanda. "Maaf, maaf! Tidak, ini tidak diizinkan! Mari kita lakukan itu lagi," kata PM Rutte sembari tertawa. 

Kenal atau tidak dengan seseorang, jabat tangan adalah kebiasaan yang sulit untuk dihindari bahkan jika kita mau. Namun dengan adanya pandemi yang telah membunuh ratusan orang ini, suka atau tidak kita harus membiasakan diri tidak berjabat tangan. Mungkin ke depannya akan ada kebiasaan lain yang nantinya menjadi sebuah tren untuk menunjukkan etika dalam lingkungan sosial.

Gambar oleh Reimund Bertrams dari Pixabay Caption