Pemerintah Harus Cari Solusi Cegah Penyelundupan Pemudik
Situasi antrean penumpang di Stasiun Pasar Senen (Angga Nugraha/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Fenomena angkutan gelap pengantar pemudik di bulan Ramadan kembali marak tahun ini. Di musim mudik yang pandemi COVID-19 ini seluruh angkutan mudik sudah dilarang. Namun, mereka memiliki modus baru.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Budi Setiadi menerangkan, kebanyakan dari mereka menggunakan bus atau mobil pengangkut barang (logistik). Modus dilakukan dengan menyelundupkan penumpang di dalam, kemudian ditutupi dengan barang di bagian luar. Seolah-olah, angkutan tersebut memang hanya membawa barang.

"Angkutan penyelundupan penumpang mudik ini ada karena angkutan umum tidak beroperasi. Sayangnya, pasarnya (pemudik) masih ada, jadi mereka menggunakan angkutan pelat hitam ilegal yang bermain. Tapi, sejauh ini sudah ada penindakan polisi di lapangan," kata Budi kepada VOI, Minggu, 3 Mei.

Pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Djoko Setijowarno, mengatakan fenomena ini sejatinya bukan hal baru. Namun, yang harus dititikberatkan bukan hanya penindakan di lapangan. 

Djoko bilang, pemerintah juga mesti mencari jalan keluar dari masalah ini. Faktanya, masih banyak perantau yang memaksa mudik ke kampung halaman karena tak bisa berbuat banyak untuk mempertahankan kebutuhan hidup.

Masyarakat perantau di wilayah Jabodetabek ini, kata Djoko, banyak yang belum mendapatkan bantuan sosial (bansos) dari pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang saat ini sedang dibagikan. Hal inilah yang membuat mereka memutuskan untuk mudik ke kampung halaman. 

"Padahal, kebutuhan hidup sehari-hari mereka tetap berlangsung. Persediaan hidup semakin menipis. Oleh karenanya, memilih pulang kampung dirasa lebih aman dan nyaman. Ketimbang hidup di perantauan, tidak bisa makan, entah sampai kapan," ujar Djoko saat dikonfirmasi VOI.

Solusi yang bisa dilakukan pemerintah saat ini tak bisa hanya melakukan pemblokiran akses jalan oleh petugas kepolisian. Pemerintah bisa mengadakan crisis centre untuk mewadahi permasalahan warga perantauan di wilayah Jabodetabek yang mengalami masalah kemampuan finansial.

Namun, jika penanganan hanya dibebankan ke pemerintah daerah di wilayah Jabodetabek, hal itu cukup memberatkan. Djoko bilang, perlu kerja sama antarapemda Jabodetabek, pemerintah pusat, dan pemda asal para perantau ini.

"Jadi, tidak hanya melarang untuk mudik, akan tetapi harus memberikan jalan keluar agar mereka tetap betah berada di perantauan dengan jaminan hidup hingga mereda pandemik COVID-19. Sebab, banyak dari mereka yang sudah tidak ada biaya untuk makan sehari-hari dan membayar sewa atau kontrak tempat penginapan," ucapnnya.

Selain itu, pejabat daerah setempat bisa membangun solidaritas sosial di kalangan masyarakat untuk menjaga warga masyarakat yang tidak mampu di wilayah Jabodetabek agar tidak mudik. 

"Boleh ada upaya memberikan pertolongan bagi perantau seperti ini, sehingga kehidupan selama berada di perantauan tetap terbangun," jelas dia. 

Sebagai informasi, peraturan larangan mudik di masa pandemi COVID-19 menyebabkan munculnya travel gelap yang menawarkan jasa antar ke kampung halaman tanpa diketahui petugas di titik checkpoint. Penawaran tersebut banyak beredar di berbagai media sosial.

Modus travel gelap ini mulai terendus polisi ketika petugas jaga di Pos PAM di Kedung Waringin, Bekasi, mendapati 10 orang yang berusaha mudik dengan menggunakan jasa travel, pada Rabu, 29 April, malam.

Direktur Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya Kombes Sambodo Purnomo Yogo mengatakan, modus itu terungkap karena kecurigaan petugas di pos penjagaan. Sebab, mobil travel ini menggunakan pelat hitam agar terlihat seperti kendaraan pribadi.

Berangkat dari kecurigaan ini, mobil tersebut diberhentikan dan memeriksanya. Dari situ diketahui ada beberapa orang yang duduk di kursi penumpang.

Saat dilontarkan beberapa pertanyaan, ternyata mereka tidak memiliki tujuan yang sama. Sehingga, hal itu sudah melanggar aturan yang ada dan mereka semua pun dimintai keterangan lebih lanjut.

"Dari 2 kendaraan yang tersebut, total ada 8 penumpang dan belum termasuk supir. Mobil pertama ada 6 orang dan yang kedua 4 orang," ucap Sambodo, Jumat, 1 Mei.

Dari hasil pemeriksaan, kata Sambodo, para penumpang tersebut mengaku menggunakan travel dan membayar sekitar Rp300 ribu - Rp500 ribu kepada perusahaan travel tersebut. Bahkan, mereka dijanjikan bisa sampai ke kampung halaman, meski ada larangan dari pemerintah.

"Mereka dijanjikan dapat melintasi pos penjagaan dan mudik ke kampung halamannya di Jawa Tengah," kata Sambodo.