Stigma Negatif yang Bikin Takut Penderita COVID-19 Mencari Perawatan
Ilustrasi (Irfan Meidianto/VOI)

Bagikan:

JAKARTA - Kabar penolakan warga terhadap jenazah pasien positif virus corona atau COVID-19  menimbulkan efek lain, yaitu membuat orang yang bergejala enggan memeriksakan dirinya ke rumah sakit karena khawatir dengan stigma negatif. 

Dikutip dari suara.com, beberapa waktu yang lalu ada seorang warga yang minta bantuan kepada Pemda DKI Jakarta setelah diusir oleh warga di sekitar tempat tinggalnya karena dicurigai terjangkit COVID-19.

Adalah Syamsi Hadi, yang kebingungan mencari tempat isolasi bagi istrinya. Dia terpaksa menginap di sebuah hotel karena selain terusir dari lingkungan tempat tinggalnya, rumah sakit juga tak bisa merawat mereka karena tak ada kamar yang tersedia.

Selain itu, penolakan juga terjadai pada tenaga medis yang mengurusi pasien COVID-19. Hal ini diungkapkan Kabid Kedaruratan dan Logistik BPBD Sleman, Makwan. Kata dia, ada penolakan terhadap tenaga medis di salah satu rumah sakit hanya saja belum di ketahui berapa jumlah tenaga medis yang ditolak.

Adapun alasan penolakan terhadap tenaga medis ini karena masyarakat takut jika nantinya virus corona menulai melalui tenaga medis.

"Kasusnya ada di salah satu rumah sakit. Untuk jumlahnya belum (terkonfirmasi)," kata Makwan seperti dikutip dari detik.com.

"Memang sudah ada kasus penolakan warga untuk tenaga medis juga, tapi kami terus melakukan edukasi ke masyarakat secara pelan-pelan," imbuhnya.

Dengan banyaknya penolakan terhadap Orang Dalam Pengawasan (ODP) serta keluarganya dan tenaga medis yang bertugas selama pandemi COVID-19, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menilai kepanikan dan kekhawatiran di tengah masyarakat ini memunculkan stigmatisasi dan diskriminasi terhadap pasien COVID-19 dan para petugas medis.

Padahal, menurut World Health Organization (WHO) stigmatisasi pada pasien yang mengidap penyakit tertentu justru menimbulkan berbagai dampak negatif pada pasien; di antaranya berupa isolasi sosial, kehilangan akses hidup dan tinggal, bahkan depresi.

"Dampak tersebut akan menghambat penyembuhan diri pasien dan bukan tidak mungkin hal ini juga dapat terjadi pada para pasien COVID-19 yang menerima stigmatisasi dan perilaku diskriminasi," kata Ketua IDI Moh Adib Khumaidi kepada VOI, Rabu, 15 April.

Selain menimbulkan dampak negatif, bukan tak mungkin para pasien yang tahu dirinya mengalami menjadi ODP, Pasien Dalam Pengawasan (PDP) atau bahkan mereka yang positif COVID-19, menjadi tak jujur terhadap tenaga medis saat datang ke fasilitas kesehatan. Jika sudah begini, maka bisa dipastikan petugas kesehatan tak bisa mengambil tindakan tepat untuk memutus rantai penyebaran virus tersebut.

"(Stigmatisasi dan diskriminasi) bukan tidak mungkin akan memunculkan ketidakjujuran pasien kepada petugas medis saat datang ke pelayanan kesehatan. Sehingga mata rantai penularan akan semakin luas," tegasnya.

Sementara untuk tenaga medis, penolakan ini membuat mereka menjadi rentan terhadap penyakit. Sebab, harusnya ketika tiba di rumah, tenaga medis bisa beristirahat setelah mereka terjaga selama berhari-hari saat bertugas di rumah sakit.

"Penolakan ini akan membuat beberapa dari mereka terpaksa kembali bermalam di rumah sakit. Sehingga sangat beresiko bagi kualitas kesehatan diri mereka sendiri," jelasnya.

Sehingga, berkaca dari fakta ini, pemerintah melalui Kementerian Kesehatan (Kemenkes) harusnya lebih masif lagi memberikan informasi terkait penyebaran COVID-19. Mengingat, kurangnya informasi atas penyebaran, pencegahan maupun penyembuhan penyakit adalah faktor yang cukup signifikan atas adanya stigmatisasi dan diskriminasi terhadap pasien maupun tenaga medis.

"Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan perlu meningkatkan informasi terkait penyebaran dan pencegahan kepada masyarakat. Dengan begitu, stigmatisasi yang berujung pada perilaku diskriminasi terhadap ODP maupun PDP COVID-19 tidak terjadi," kata dia.