Bagikan:

JAKARTA - Minat masyarakat untuk mengikuti beragam pelatihan dalam Kartu Prakerja bisa dibilang cukup besar, di tengah derasnya kritik terhadap program tersebut. Nantinya, para peserta ini akan mendapatkan sertifikasi setelah rampung mengikuti pelatihan.

Namun, yang saat ini menjadi pertanyaan apakah sertifikasi tersebut efektif membantu mereka yang kehilangan pekerjaan akibat wabah virus corona atau COVID-19? Lalu, ketika terjun ke lapangan kerja, apakah industri mau menerimanya?

Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Ekonomi, Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Tauhid Ahmad mengaku ragu sertifikasi dari pelatihan Kartu Prakerja tersebut dapat diterima oleh industri.

"Siapa yang mau mengakui sertifikasi seperti ini? Apakah industri mau menerima sertifikasi dari pelatihan Kartu Prakerja?" kata Tauhid, dalam diskusi virtual bertema 'Kartu Prakerja: Anda Bertanya, Kami Jelaskan', Rabu, 29 April.

Menurut Tauhid, konsep pelatihan yang diberikan dalam program Kartu Prakerja lebih mirip dengan seminar. Sebab, tidak ada komunikasi dua arah antara pemberi materi dengan peserta pelatihan.

"Kalau targetnya hanya pengetahuan, kenapa tidak membuat video langsung saja seperti Kementerian Tenaga Kerja (Kemenaker) memberi modul pelatihan gratis. Kartu Prakerja komunikasinya seperti seminar, tidak ada konsep pelatihan masuk. Tidak ada komunikasi soal pemberian materi, apalagi lewat video," tuturnya.

Selain itu, Tauhid mengaku, tak yakin peserta Kartu Prakerja dapat mengingat materi pelatihan usai pandemi berakhir. Apalagi hingga kini belum ada yang bisa memastikan kapan pandemi wabah ini berakhir.

Di sisi lain, Tauhid juga mengkritisi, asumsi yang dibangun oleh manajemen pelaksana program Kartu Prakerja di mana mereka menganggap konsumen adalah raja. Sehingga, peserta tinggal memilih pelatihan. Ia menilai, asumsi ini keliru.

"Pemerintah kan punya arah RPJMN, arah industri prioritas. Ada lima sektor prioritas, industri 4.0, serta ke mana arah kebutuhan tenaga kerja ke depan. Nah ini kan belum tentu konsumen ini tahu arah ke depan. Kalau tahu kan pasti mereka tidak dalam kondisi yang sulit seperti sekarang ini," jelasnya.

Pekerja di Jakarta. (Angga Nugraha/VOI)

Tak hanya itu, Tauhid juga mengkritisi, soal kredibilitas setiap pelatihan dan pemberi materi pelatihan Kartu Prakerja. Kemudian, standardisasi modul pelatihan seperti apa dan siapa yang membuatnya.

"Siapa sih dalam modul pelatihan ini asesornya? Bagaimana mereka melakukan assesment? Apakah modul sudah memiliki standar? Jika iya, siapa yang melakukan pengujian standar. Saya tidak yakin Project Management Office (PMO) atau siapapun melakukan verifikasi 1.900 jenis pelatihan. Sampai-sampai cara menghilakan stres masuk sebagai materi pelatihan," jelasnya.

Tauhid lantas mempertanyakan, fungsi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan selama ini. Sebab, badan ini bekerja untuk menjamin mutu kompetensi dan pengakuan tenaga kerja pada seluruh sektor bidang profesi di Indonesia melalui proses sertifikasi.

"Kalau semua diserahkan kepada mekanisme pasar. Buat apa pemerintah buat lembaga sertifikasi? Ada balai dan sebagainya," tuturnya.

Tak Jamin Dapat Pekerjaan

Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Program Kartu Prakerja, Denni Puspa Purbasari mengatakan, pemerintah telah berkoordinasi dengan pengusaha untuk memastikan peserta Kartu Prakerja bisa terserap di sektor industri.

Denni mengaku, dalam proses awal rancangan program ini, pemerintah telah mengundang perwakilan pengusaha untuk berdiskusi. Di antaranya adalah Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), dan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. 

"Jadi kalau mereka butuh tenaga kerja, tidak perlu keluar uang. Tinggal hubungi lembaga pelatihan dan sebutkan tenaga kerja yang dibutuhkan," tuturnya.

Meski begitu, pemerintah menegaskan tidak menjamin masyarakat langsung mendapatkan pekerjaan ketika sudah selesai dalam pelatihan program Kartu Prakerja. Alasannya, kebekerjaan menjadi sangat kompleks lantaran harus mengikuti pelatihan vokasi.

"Yang bisa menjamin itu termasuk diri sendiri, menunjukkan diri sendiri untuk kemudian dipertimbangkan oleh HRD perusahaan. Jadi ekspektasinya harus pas, jangan over promise," tuturnya.

Revolusi Industri 4.0 Jadi Ancaman

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menyebut Indonesia diramal akan kehilangan 23 juta pekerjaan sampai tahun 2030. Pekerjaan yang akan hilang ini terjadi pada berbagai sektor. Hal ini, berdasarkan hasil riset McKinsey & Company mengenai kondisi Indonesia dalam kurun waktu 10 tahun ke depan.

Riset tersebut menyebutkan, hilangnya pekerjaan terjadi karena adanya revolusi industri 4.0. Revolusi ini diyakini akan ada kecepatan pergeseran posisi pekerjaan, hingga menghilangkan profesi pekerjaan tersebut di masa depan.

Namun, sisi positif dari revolusi industri yakni menciptakan 27 hingga 46 juta pekerjaan baru di masa depan. Sehingga jumlah pekerjaan baru yang muncul akan lebih banyak daripada pekerjaan yang hilang.

Karena kondisi ini, Direktur Jenderal Pembinaan, Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan Bambang Satrio Lelono berharap, peserta program Kartu Prakerja memilih jenis pelatihan secara cermat dan jeli, sehingga pelatihan yang didapatkan bisa dimanfaatkan dalam mencari pekerjaan.

"Setelah mereka berlatih, keterampilan yang dimiliki lewat pelatihan online dan insentif ini bisa digunakan menjadi peluang baru untuk bekerja," tuturnya.

Mengingat tantangan ke depan, Bambang mengatakan, perlu pengembangan keterampilan dan kemampuan masyarakat agar bisa beradaptasi dengan kemajuan teknologi. Salah satunya dengan program Kartu Prakerja ini.

"Program Kartu Prakerja melalui program-program pelatihan bersifat skilling yaitu untuk pembekalan terhadap tenaga kerja yang akan masuk dunia kerja," jelasnya.